Mohon tunggu...
Wiwit Wahyu Hidayati
Wiwit Wahyu Hidayati Mohon Tunggu... -

mawar berduri itu seperti halnya jarum yang menancap di busa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jujur = Minoritas

30 Januari 2014   10:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:19 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tergambar ketika memandang gerbang nan menjulang tinggi dengan kegagahan namanya, sekejap hanya bisa diam. Pandanganku vertikal menuju taman beserta kerapiannya tepat pada tempat aku berdiri. Begitu megahnya gedung-gedung pencetak sosok-sosok berstatus sarjana. Belum lagi terbayang fasilitas lain yang bakal menunjang aku selama kuliah di sini. Akses wifi yang bisa aku andalkan, tidak seperti di rumah hampir semua sinyal beku karena kabut. Diantara gedung-gedung megah itu mungkin aku juga akan menemukan gedung perpustakaan yang komplit, jadi aku tidak perlu membeli banyak buku untuk aku baca. Meskipun nantinya harus menjadi sarja photocoy-an karena banyak buku perpus yang bisa di copy atau sarjana gratisan baca buku. Dalam benak diri yang semakin membuat bangga adalah ketika memasuki wilayah kampus, setiap hari akan terpampang denah tempat beberapa fakultas. Ketika itu pula dengan bangganya aku melangkahkan kaki menapaki jejak masa depan menuju fakultas Psikolog. Apalagi aku bermimpi ingin jadi aktifis kampus.

Sejenak setelah kawanku menepuk pundakku, aku semakin mendiam. Melototkan mata dengan bibir bertanya-tanya.

"Eloh, kok jadi kaya gini. Mana gedung tingkatnya?" Kataku bermuka beloon.

"Aduh eneng..... gedung yang mana? Ini kita sudah sampai di gedung Auditorium kampus baru kita. Kamu melamun ya?" Kata Via kawan baruku.

"Dari masuk gerbang tadi aku bayangin kalau kampus ini ya bakal gitu," merendahkan suara.

"Gitu gimana?"

"Yang gede gitu Vi. Cuma korban SNMPTN ternyata aku, jadi ngelantur bayanginya ketinggian. Eh ini ternyata Cuma kaya gini hehehe".

Sekian dari cerita konyol itu, sekarang memang harus memasuki kenyataan. Gedung yang terlihat sudah tua dengan cat tembok yang semakin pudar itu kini aku masuki. Tidak lama lagi kuliah umum akan dimulai.

"Mana kawan baruku? Mana kawan satu fakultasku? Mana kawan satu prodiku? Siapa kalian semua itu? Siapa? Mana? Siapa? Manaaaaaaa?" Itu sekadar jeritan orang yang kaget keadaan baru. Lagi-lagi di kampus baru aku juga harus punya kawan baru. Sahabat karibku sudah menyebar di penjuru Indonesia. Kami memang sahabat, tapi kami lebih memilih masa depan masing-masing. Si Candra yang kini memilih menjadi calon perawat dan juga Frida yang juga jadi bidan. Deny dan Budi justru terbang ke Kalimantan untuk mengadu nasib. Ada juga yang di Purwokerto jadi pegawai ternak siapa lagi kalau bukan Agus. Puja alih profesi di Jakarta. Satu lagi, kawan seperjuanganku yang sudah pindah ke Yogyakarta sebagai tempat mengadu ilmu. Delapan belas bersaudara yang tidak bisa aku sebutkan semuanya telah menjadi sahabat sejak aku duduk di bangku SMK. Belum lagi sahabat nan jauh di sana ada Eni dan Ratih yang mempunyai kehidupan masing-masing.

Oh, tidak Tuhan. Ternyata aku harus beradaptasi lagi dengan manusia-manusia baru. Sambil memandang begitu banyaknya mahasiswa baru yang mengikuti kuliah umum pagi ini sesekali aku memperhatikan pencerahan yang katanya disampaikan oleh rektor kamus ini. tengok kanan tengok kiri, mataku memantau beberapa penjuru gedung itu, ternyata tidak ada yang aku kenal kecuali Via.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun