Jujur saja, Pemilu kali ini saya benar-benar malas untuk berpartisipasi. Berbeda dengan dua Pemilu sebelumnya, tahun 2004 dan 2009. Saya menjatuhkan hati pada satu partai yang mendeklarasikan diri sebagai partai dakwah dan mengusung jargon “bersih dan peduli”.
Kalau begitu kenapa kali ini tidak berminat memilih?
Hmm…
Sebelumnya, boleh cerita sedikit ya?
Awal perkenalan saya dengan partai pilihan saya dulu ini sekitar tahun 2000, saat saya masih duduk di bangku SMA. Waktu itu saya melihat sekelompok kader partai ini sedang melakukan semacam Jambore di Bumi Perkemahan Natrabu, Leuwiliang, Kab. Bogor. Sekilas saya melihat mereka latihan fisik dan digembleng layaknya kelompok Pecinta Alam yang sedang diklat seperti kami –minus teriakan-teriakan tentunya. Sepertinya mereka pun ada pendalaman materi, tausiyah, dan lain-lain selain push-up atau lari-lari sambil bernyanyi.
Bedanya lagi, saat tiba waktu sholat, sementara kami masih leyeh-leyeh ketika mendengar azan, mereka sudah bersiap untuk sholat berjamaah. MasyaAllah.
Ketika itu saya memantapkan diri, jika tiba waktunya nanti bagi saya untuk memilih wakil rakyat, saya akan memilih mereka. Bertahun-tahun kemudian, kepercayaan saya tetap bertahan pada partai yang bersih dengan kader yang solid ini.
Kesolidan mereka salah satunya terbukti saat Pilkada DKI Jakarta 2007. Ketika itu partai ini berdiri sendiri mengusung calon Gubernur dan Wakilnya yaitu AD & DA, dan memperoleh 42,13% suara. Sementara pesaingnya, pasangan FB & P, yang dicalonkan keroyokan oleh 20 partai mendapatkan 57,87%. Meskipun kalah, tapi perolehan suara AD & DA luar biasa – mengingat perbandingan kekuatan 1:20.
Hanya saja kemudian, kepercayaan saya sedikit terusik karena berita “entah benar-entah tidak” yang menggemparkan ini: http://www.tempointeraktif.com/khusus/selusur/pks.terbelah/index.php
Sementara publik “setengah percaya-setengah tidak”, KH. Yusuf Supendi (yang notabene adalah salah satu pendiri partai ini), kemudian “entah mengundurkan diri-entah dipecat” karena kasus di atas. Kini beliau menjadi Caleg dari partai lain.
Selanjutnya, bila berita di atas “hanya” mengusik kepercayaan saya, maka pada 2013, jreng jreeennngg… berita kasus suap daging sapi impormenghempaskannya ke dasar jurang yang terdalam. Akhirnya saya pun hanya bisa berpaling dan berkata lirih “sudahlah…saya tak percaya lagi pada partai politik”. Hiks… (lebaaay…)
Tahun ini, Pemilu sudah di depan mata. Masa kampanye sudah dimulai pada 16 Maret yang lalu. Danmeskipun 3 minggu ini berseliweran status #tolakgolput di media sosial, yang disampaikan dengan profesional dan santun, yang sinis bahkan sadis, saya bergeming. Bukan karena idealisme menolak demokrasi, tapi lebih karena saya tak peduli dan apatis terhadap perubahan yang mungkin terjadi dengan saya ikut memilih.
Apalagi sejak satu partai mendeklasrasikan Calon Presidennya yang masih menjabat Gubernur, timeline saya penuh dengan berita politik. Pandangan, analisis orang awam, cemoohan, dukungan, cacian, pujian, ajakan memilih, ajakan golput, dan lain-lain membuat mata saya pedih.
Saya tidak berkomentar apapun, karena toh saya tidak berniat memilih siapapun. Meskipun begitu, masih berusaha sedikit peduli. Situs KPU pun saya buka. Hanya saja tidak sampai 5 menit saya tutup kembali, karena saya hanya melihat wajah-wajah yang tidak saya kenal. Mengapa tidak melihat platform partainya saja? Ah, omong kosong semua.
Saya masih mengibarkan bendera putih, #hidupgolput!
Sampai beberapa hari yang lalu saya membaca status seorang teman:
“Yang layak golput adalah mereka yang sudah banyak berbuat dan menghasilkan perubahan positif untuk negeri ini. Tanpa berkontribusi suara pun, mereka sudah melakukan sesuatu yang berharga. Nah, bagi yang masih dalam tahap rencana, wacana, cita-cita tapi belum aksi nyata, ikut berkontribusi suara memilih wakil rakyat terbaik (meskipun dari yang terburuk mungkin) adalah sebuah bentuk usaha memperbaiki bangsa. Selamat menjadi pemilih cerdas…”
Jleb! Jleb! Jleb!
Saya pikir lgi. Ahya, benar juga ya...Yang terbaik diantara yang terburuk.
Baiklah, kalau begitu saya akan berusaha mencari.
Kebetulan teman saya ada yang men-share situs www.jariungu.com dan KontraS juga meluncurkan situs mereka www.bersih2014.net. Saya pun tergerak membuka dua situs tersebut. Sepertinya saya mulai punya gambaran, meskipun masih belum yakin juga akan berangkat ke TPS atau tidak tanggal 9 April nanti. Hehehe..teteup.
Saya masih tidak punya harapan. Sampai tadi pagi.
…
Seperti biasa saya harus berbelanja ke pasar untuk membeli bahan pangan. Nah, sambil menunggu motor saya dikeluarkan oleh tukang parkir, tidak sengaja saya mencuri dengar percakapan dua orang tukang becak yang sedang menunggu penumpang. Seru sekali. Mereka tidak membahas pasar yang becek bukan kepalang meskipun semalam tidak diguyur hujan, bukan membahas timbunan sampah di belakang pangkalan yang sepertinya belum diangkut berhari-hari, tidak juga mengeluhkan harga sayur mayur yang merangkak naik belakangan ini.
You know what? Mereka membicarakan politik!
Kenapa heran? Dalam kehidupan sehari-hari seperti pemilihan ketua kelas, ketua senat, ketua RT, ketua arisan, de-el-el, toh kita sesungguhnya sedang berpolitik. Politik dibicarakan di warung rokok pinggir jalan hingga Gedung MPR/DPR di Senayan.
Ya benar. Hanya saja bagi seseorang seperti saya yang malas membicarakan politik, percakapan dua bapak yang bersahaja ini menarik. Mereka berdebat ringan dalam bahasa Jawa. Tentang pemerintahan 10 tahun terakhir ini, tentang maraknya kasus korupsi, juga tentang partai dan calon presiden pilihan mereka masing-masing nanti. Wow!
Mungkin sebenarnya apa yang mereka bicarakan biasa saja. Tapi satu hal yang menyentak saya adalah…mereka punya harapan. Harapan untuk kehidupan yang “semoga bisa” lebih baik. Mereka berpikiran positif dan optimis. Tidak seperti saya yang apatis dan pesimis.
Teman saya –sesama pendukung #hidupgolput– mengatakan bahwasanya berharaplah hanya kepada Allah SWT, bukan kepada manusia. Allah SWT berjanji terhadap insan yang senantiasa menjaga harapan dalam firman-Nya:
“Berharaplah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan harapanmu sekalian.” (QS. Al-Mukmin: 60)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS. Al-Baqarah: 186)
Naah..saya setuju itu. 100% setuju!
Tapi, apakah kedua bapak di atas salah karena telah berharap kepada calon pemimpin mereka? Sepertinya tidak juga ya, selama mereka juga berdoa, memohon kepada-Nya.
Memakai rumus DOA-IKHTIAR-TAWAKAL, imho, kalau kedua bapak tersebut juga memohon kepada Allah SWT agar bangsa ini dikaruniai Pemimpin yang baik, jujur, adil dan bertanggungjawab, maka doa mereka adalah juga harapan. Lalu memilih saat Pemilu nanti adalah ikhtiar yang bisa mereka lakukan untuk mewujudkannya. Setelah itu tawakal, mempersilahkan dan mengawasi para pemimpin terpilih untuk bekerja sesuai dengan janji-janji mereka.
Saya jadi berpikir, despite the reality that sometimes government is suck, toh bangsa ini tetap memerlukan orang-orang yang mengurusi negara bukan? Apakah kita akan membiarkan orang-orang jahat yang bercokol di pemerintahan?
Apalagi mengutip Bapak Anies Baswedan,
“Negara ini hancur bukan karena banyaknya orang jahat, tapi karena banyaknya orang baik yang diam dan mendiamkan”.
Tidak cukup hanya menjadi pembayar pajak yang baik, lalu diam saja ketika pajak yang kita bayarkan untuk kepentingan bangsa dikelola oleh orang jahat. Kurang lebih seperti itu contohnya.
Lalu bagaimana kalau kita salah pilih? Bagaimana kalau kita memilih wakil rakyat atau Presiden yang akhirnya menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi mereka? Kolusi, korupsi, de-el-el, de-es-be?
Be positive. Selama masih ada lembaga peradilan, kita bisa menuntut keadilan. Sekali lagi, kita berusaha. Namun, bila mereka bisa membeli hukum dan kita tidak mendapat keadilan dunia, tawakal lagi, semoga kelak mereka akan mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan hukuman yang lebih berat di akhirat. Amin.
Lagipula, kalau kita sudah berusaha memilih dengan cermat, kenapa juga takut salah? Kita kan memang manusia yang tak luput dari salah bukan, memangnya malaikat?
Kalau ternyata salah pilih, kita hukum mereka yang sudah kita percayai. Lima tahun yang akan datang ganti pilihan. No Status Quo. As simple as that. Hehehe…
Oke, saya mulai mengangguk-angguk sendiri. Lalu, kalau dua bapak yang saya ceritakan di atas hanya bisa memilih berdasarkan berita-berita di TV atau koran 2 ribu rupiah yang mereka baca bergiliran, mengapa –denganakses informasi yang lebih luas– kita tidak bisa melakukan dengan lebih baik? Sekali lagi, memilih orang yang terbaik (diantara yang terburuk sekalipun).
Hmm…
Ya, tidak, ya, tidak.
…
Akhirnya, setelah mengalami pergumulan batin yang demikian pelik (ceilah…) saya berubah pikiran.
Jadi?
Ya.
Saya akan memilih.
*lipat bendera
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H