Mohon tunggu...
Wiwin Suwandi
Wiwin Suwandi Mohon Tunggu... -

Pramoedya A. Toer, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. (Minke, 352)."\r\n\r\n Wiwin Suwandi, Pemuda sederhana yang hanya ingin melihat Indonesia bermartabat di mata dunia. Senang dengan kajian hukum dan politik pemerintahan. Bercengkerama dengan buku dan pena. Mengagumi Muhammad, Syariati, Moht. Motahari, Marx, Gandhi, Soekarno, Pramoedya, dan tentunya Ortu tercinta. Saat ini bekerja sebagai peneliti dan pengamat hukum tata negara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kisah "Anak yang Terbuang” (Tentang Tafsir Sebuah Kebenaran)

16 Januari 2014   01:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:48 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Assalamu Allaikum,wr,wb.

Salam sejahtera kepada umat manusia, makhluk yang sempurna diantara makhluk lain, yang dariNya diberikan kepadamu akal dan pikiran, agar kau bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk.

Salam hangat kepada Kompasianer, manusia2 yang berpikir bebas&merdeka ditengah negara yang “belum” merdeka. Setidaknya dengan menulis, kita menjadi manusia yang merdeka.

Saya menulis catatan ini disebuah bilik berukuran 3x4, tempat saya menghabiskan hari-hari dengan membaca dan menulis. Jika ada yang menanyakan saya, saya bukan siapa-siapa, saya adalah saya dan siapapun juga bukan saya. Saya hanyalah seorang anak muda yang selalu merasa haus dengan pengetahuan. Dan ketika saya merasa haus, kering, buku menjadi “air” yang menghapus dahaga saya. Ia menjadi pelarian saya, seorang kekasih, “isteri” saya, dimana saya bisa mencumbu dan “menggaulinya” setiap saat.

Disitu saya “berkenalan” dan “berdiskusi” dengan banyak penulis/pemikir.  Socrates, Plato, Aristoteles, Al Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Edward Said, Noam Chomsky, Murtadha Mutahhari, Ali Syariati, Hegel, Karl Marx, Althuser, Foucault, Freud, Habermas, Pramoedya, Tan Malaka, Soekarno, Chairil Anwar, Soe Hok Gie, Goenawan Mohammad, Frans Magnis Suseno, dan banyak pemikir besar lainnya yang ruang ini tidak bisa memuatnya. Mereka adalah orang-orang yang berkontribusi membentuk peradaban, dan saya merasa bersyukur dan berterimakasih telah menjadi bagian dari peradaban itu. Tapi diatas itu, Muhammad SAW adalah pemimpin, tauladan dan guru terbesar sepanjang zaman.

Tergerak hati ini untuk kembali menulis di Kompasiana. Setelah lama “menghilang” dari “dunia Kompasiana” yang selalu romantis dan melankolis. Seolah Kompasiana “memanggil” saya untuk “mencumbunya” kembali dalam sebait kisah dalam goresan pena. Hanya sebuah kisah, yang kawan semua tidak dipaksa untuk percaya, benar dan tidak, kembali pada kawan Kompasianer sekalian.

Saya meyakini, rekan Kompasianer selalu mengikuti perkembangan dunia politik dan hukum di negeri yang selalu “berisik” ini. Tidak pernah sedetik pun terlewatkan tanpa berita heboh yang banyak diantaranya mengguncang jagad politik-hukum tanah air.

Termasuk soal “kisah” saya, “sang pembocor Sprindik”, yang saya yakini rekan Kompasianer tahu (atau minimal) pernah dengar soal itu. Sudah lama memang, sejak setahun lalu, sebuah kejadian yang kemudian merubah “takdir” saya sebagai manusia. Awalnya hanya seorang anak muda yang suka berdiskusi, membaca dan menulis, tidak pernah melakukan hal2 aneh dan membuat onar (kecuali demonstrasi mungkin...he...he..),  tiba-tiba menjadi sosok paling dicari dan dibenci seantero negeri. Berada diantara hidup dan mati, ditengah ancaman yang bisa datang setiap saat, berpindah-pindah tempat (nomaden) untuk menghindari ancaman, hidup ditengah cacian, hujatan dan sindiran; sok idealis, penipu, pembohong, terima duit dari C*****, begitu tanggapan banyak orang. Tragis memang, sudah “diberhentikan secara tidak hormat” di sebuah lembaga yang diagung-agungkan, dicaci dan dihina pula. Saya yakin, tidak banyak orang yang mampu menanggung beban berat seperti itu.

Kepada Tuhan, saya berdoa, saya ingin tetap hidup, karena yakin, saya masih bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk bangsa dan negara ini, agar saya bisa menceritakan kisah ini suatu hari nanti. Alhamdulillah, Tuhan mendengar doa saya dan masih memberikan saya hidup untuk lebih mensyukuri nikmatNya. Saya kembali ke kampus, habitat yang membesarkan saya (alhamdulillah kampus masih menerima saya) untuk menyelesaikan studi (magister) yang sempat tertunda. Kembali menjadi manusia yang "merdeka".

Saya tidak pernah membenci, mendendam, atau balas mencaci. Karena saya sadar dan mahfum, mereka tidak mengerti dengan kejadian yang sebenarnya. Saya juga tidak bisa menyuruh Tuhan atau Malaikat untuk menceritakan kepada mereka. Hanya melalui media yang memuat berita saya,(salah satunya:http://news.detik.com/read/2013/04/05/101434/2212233/10/2/ini-pledoi-sespri-abrahaman-samad-di-komite-etik,) saya bisa menyampaikan alasan saya yang sesungguhnya, meski tidak semuanya tersampaikan. Saya hanya menyampaikan sesuatu yang perlu publik ketahui, meski resikonya besar, nyawa saya sendiri taruhannya. Percaya atau tidak, kembali kepada anda semua.

Saya terpanggil untuk menulis ini, bukan untuk membela diri, mencari sensasi, atau dibilang sebagai pahlawan (baca: http://news.detik.com/read/2013/04/05/102554/2212243/10/eks-sespri-abraham-samad-pahlawan-itu-penyidik-kpk?n991102605), namun lebih sebagai tanggungjawab moral saya, untuk berbagi kisah dengan rekan sekalian, tentang “tafsir sebuah kebenaran” - sesuai judul tulisan ini - dari apa yang kita amati terkait kejadian tersebut. Saya tidak butuh pengakuan, karena saya meyakini Tuhan lebih adil melihat masalah yang menimpa hambaNya.

“Kebenaran selalu datang terlambat,” begitulah kata pepatah. Setelah berpolemik selama setahun, kabar itu datang juga, AU akhirnya ditahan KPK. Polemik memang belum berhenti, bahkan lebih dahsyat. Tudingan, serangan yang sudah menjurus pada fitnah terhadap KPK dan Abraham Samad gencar dilakukan oleh orang2 fanatik yang melihat sesuatu secara hitam-putih (lihat: http://kaltim.tribunnews.com/2014/01/13/abraham-samad-pernah-melobi-anas-agar-terpilih-jadi-ketua-kpk). Baca juga bantahannya: http://www.tribunnews.com/tribunners/2014/01/13/bantahan-mantan-staf-pribadi-abraham-samad-terkait-penahanan-anas). Beberapa bantahan dari rekan Kompasianer: http://m.kompasiana.com/post/read/626207/3/untuk-sri-mulyono-siapa-kesatria-abraham-atau-anas-tanggapan-atas-tulisan-anas-ksatria-kpk-melakukan-kebohongan-publikhttp://media.kompasiana.com/new-media/2014/01/13/sri-mulyono-kompasiana-dan-tribunnews-627656.htmlhttp://hukum.kompasiana.com/2014/01/15/jika-anas-pernah-nolong-samad-emang-kenapa-626506.html.

Sungguh naif orang-orang ini, menyebar fitnah dan provokasi. Mengkultuskan seseorang, yang padahal diketahuinya orang tersebut cacat spritualnya, sebagai seorang koruptor. Seolah-olah idolanya adalah "TUHAN" atau "DEWA" yang suci tak bernoda. Mereka dibutakan mata hati dan pikirannya dengan kebencian. Seakan2 semua yang dilakukan KPK salah. Padahal tanpa disadari, mereka juga menuai akibat dari apa yang dilakukan KPK. Saya tidak melindungi KPK, karena saya yakin, hanya orang waras yang bisa memahami apa yang dilakukan KPK saat ini.

Pada akhirnya, kebenaran juga yang akan menang. Kebenaran memang selalu datang terlambat, tapi kebenaran tidak pernah bersembunyi. Ia tahu kapan akan muncul, agar semua orang belajar dari khilaf dan salah masa lalu yang dilakukannya.

Kembali, saya tidak memaksa anda untuk percaya, dan saya juga tidak memaksa anda untuk tidak membenci saya, itu adalah hak anda. Karena saya bukan siapa-siapa, saya adalah saya, dan siapapun juga bukan saya. Bukankah hidup harus dijalani? Biarlah waktu yang akan membuktikan, akan jadi apa saya dan kita nanti.Dukung dan doakan terus KPK untuk Indonesia yang lebih baik. Sekian dan terimakasih.

Wassalamu Allaikum,wr,wb.

Baca juga tulisan saya di:http://wartatimur.com/barisan-kaum-demagog.htmlhttp://wiwinsuw4ndi.wordpress.com/2014/01/15/hukum-di-aras-politik/.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun