Mohon tunggu...
Wiwin Riza Kurnia
Wiwin Riza Kurnia Mohon Tunggu... -

Nasionalism, Pluralism, Adventure

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Blue Fire untuk Denada

4 Desember 2014   03:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:06 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tepat pukul tujuh malam, suasana kota pahlawan saat itu bisa dibilang amatlah romantis. Langit tampak terang menampilkan bintang gemintang yang sedang malu-malu berhamburan. Hiruk-pikuk perkotaan dan lalu lalang kendaraan pun seperti tidak mengganggu pasangan-pasangan yang sedang asyik bercengkerama sambil duduk di taman kota. Hari Sabtu, malam minggu. Waktu dimana kebanyakan muda-mudi menghabiskan akhir pekan dengan pergi berkencan maupun pergi berlibur.

Di salah satu rumah yang terletak di jantung kota, terlihat lampu kamar masih menyala. Seorang perempuan sedang duduk sendiri di dekat jendela kamarnya. Sesekali ia keluar dari kamar menuju lantai atas dan mondar-mandir di sebelah balkon dengan menggenggam handphone seperti sedang cemas menunggu kabar dari seseorang.

Ya.. betapa tidak, Denada yang akan berulang tahun kurang dari beberapa jam lagi di malam itu, tidak mendapatkan kabar sama sekali dari Irfan, kekasihnya.

Jarum jam menunjukkan arah ke angka delapan lewat seperempat. Masih belum ada bbm, maupun telepon dari Irfan.Kesal menunggu, akhirnya Denada mencoba untuk menghubungi Irfan terlebih dahulu.

Tut..Tut..

Klik.. “Halo.. Iya sayang?” dari seberang Irfan mengangkat telponnya dengan santai.

“Kamu kemana aja sih, gaada kabar seharian. Kamu lupa sekarang satnight?”

“Enggak kok, aku inget. Cuma lagi sibuk aja.”

“Ngapain aja daritadi?”

“Lagi ngumpul sama temen-temen club vespa. Aku jemput ya.. Kamu udah siap kan?”

“Aku ga’mungkin lupa sama jadwal kencan kita.”

“Iya, iya ngerti. Maaf. Wait me honey..”

Dari kejauhan terdengar suara motor vespa menuju rumah Denada. Denada yang sudah siap di teras rumah menunggu Irfan menjemput, terlihat sangat menawan. Mengenakan dress bunga dengan luaran parka dan bawahan leging panjang, tak lupa juga memakai wedges cokelat. Cantik, simple dan stylish.

Tampak Irfan yang sudah sampai di depan rumah Denada pun terlihat gagah. Mengenakan kaos hitam dan jaket kulit dengan sepatu model sporty yang mengkilap. Pasangan yang serasi. Denada menghampiri irfan, langsung memakai helm yang diberikan Irfan dan segera duduk di belakangnya. Seperti biasa, tangan Denada berpegangan kuat pada pinggang kekasihnya itu. Malam hari di tengah keramaian kota Surabaya, udara dingin semakin merasuk, pasangan muda mudi itu tancap gas menuju arah barat kota.

“Kita mau kemana?” tanya Denada yang bingung karena mengamati rute perjalanan mereka tidak seperti biasanya. Irfan hanya diam dan tersenyum.

“Mau ke suatu tempat terindah di dunia.. dimana hanya ada aku dan kamu yang bisa menyaksikannya..” jawabnya.

Denada yang mendengar kalimat itu sontak diam dan tunduk, memikirkan kejutan apa yang akan diberikan kekasihnya. Ia membayangkan candle light dinner, mawar putih, atau bahkan pikiran menghabiskan malam ulang tahunnya dengan camping di pinggir pantai. Tapi, pikirannya beralih lagi. Denada tidak sekalipun diberitahu untuk mempersiapkan apapun jika memang mereka hendak camping atau pergi jauh. Ia semakin bingung akan dibawa kemana oleh Irfan. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam tepat.

Motor vespa warna biru laut memasuki parkiran di dekat penerbangan lokal Bandara Juanda. Mimik muka Denada masih terlihat bingung. Irfan memarkirkan motor kesayangannya, digenggamnya tangan Denada menuju tempat check-in. Beruntung karena mereka adalah penumpang terakhir yang belum check-in, jadi tidak perlu antri. Setelah selesai dengan pelaporan administrasi, Irfan dan Denada langsung pergi ke gate yang tertera pada boarding pass mereka. Pukul 21.20 Penerbangan Rute Surabaya-Banyuwangi

***

Pesawat yang ditumpangi Irfan dan Denada akhirnya mendarat dengan apik di landasan Bandara Blimbingsari, Kota Banyuwangi. The Sunrise of Java.

Irfan menggandeng tangan Denada menuju pintu kedatangan penumpang. Disana sudah banyak penjemput yang menanti pertemuan dengan orang-orang terkasih maupun tamu spesial yang belum pernah dijumpai. Begitu pula dengan beberapa orang yang tak asing lagi dimata Denada. Tony, kakak kandungnya berdiri berdampingan dengan perempuan separuh baya yang mengenakan jaket tebal bewarna kuning. Perempuan itu memanggil namanya dan melambaikan tangan.

“Sari!” teriak Denada seraya melepaskan genggaman tangan Irfan, berlari memeluk sahabat karibnya. Sudah lama mereka tidak bertemu sejak Sari pindah ke Sydney lima tahun silam, saat memilih tinggal bersama sang nenek dan melanjutkan kuliah disana.

Rasa jenuh dan lelah yang dirasakan sepanjang perjalanan seketika lenyap tergantikan dengan kebahagiaan saat tiba dan disambut oleh keluarga dan sahabat.

Orang tua Denada sedang pergi bertugas ke luar negeri, jadi Tony lah yang bertugas menjaga adik semata wayangnya. Tentu saja hal ini sudah direncanakan jauh-jauh hari oleh Irfan. Meminta restu orang tua Denada, menghubungi Sari untuk membantu mempersiapkan kebutuhan Denada dan kejutan ulang tahunnya, bahkan Tony juga ikut membantu menjadi penasehat sekaligus seksi dokumentasi.

Pukul 23.05. Perjalanan dimulai pada detik itu. Empat orang dijemput mobil jasa tour and travel meninggalkan bandara, bersiap meraih asa dan cinta menuju destinasi terbaik dalam menciptakan sebuah kenangan yang tak akan bisa terlupakan.

***

“Kita mau kemana sih? Kenapa ada tas carier segala? Siapa yang mau ke gunung?”

tanya Denada penasaran.

Tidak ada yang menjawab. Tony hanya tersenyum jahil melihat raut wajah imut adiknya yang menyiratkan kebingungan. Terang saja, Denada memang tidak pernah sekalipun naik gunung. Jangankan naik gunung, mendaki gumuk pun tak mau. Pernah dulu saat kakaknya masih aktif di salah satu UKM Pecinta Alam dan mengadakan diklat awal di gumuk, Denada diajak ke puncak gumuk. Tapi karena ia tergelincir saat perjalanan menuju puncak dan terjatuh di depan teman-teman Tony, Denada tak pernah mau lagi jika diajak mendaki.

***

Mobil tour and travel memasuki kawasan wisata ijen. Irfan memimpin rombongan empat orang untuk check in hotel. Sari langsung membawa Denada ke kamar untuk membantu berganti pakaian yang sudah disiapkannya. Semua sudah siap, namun bukan baju pesta yang dikenakan keempat pemuda itu, tetapi perlengkapan wajib mendaki seperti jaket tebal, topi, masker, sarung tangan, sepatu gunung dan perlengkapan lain.

Denada yang menyadari ketiga orang terdekatnya tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaannya, dengan terpaksa ia menurut saja dan terdiam jengkel. Selain itu, belum ada seorang pun yang mengucapkan selamat maupun memberikan hadiah di hari ulang tahunnya. Padahal waktu sudah melewati angka 00.00 dini hari.

Mereka berangkat dari hotel menuju pos pintu masuk paltuding dan dilanjutkan dengan soft trekking. Perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki sejauh 3 kilometer.

Udara dingin menusuk tulang. Sepanjang perjalanan tercium samar-samar aroma belerang. Semakin mendaki ke atas, aroma itu semakin pekat. Tak jarang membuat mata menjadi pedih.

Layaknya pendaki sejati, Tony mengambil alih memimpin tim. Menuntun arah jalan dan beberapa kali mengingatkan apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh tiga orang pasukannya.

“Ingat, hati-hati dalam mendaki, jalanan licin karena banyak butiran pasir. Kita akan mendaki pada kejauhan jarak 2 kilometer dengan kemiringan sudut 25-30 derajat seperti ini sampai di pos bunder, setelah itu jalannya lebih mudah dan mendatar. Hanya sekitar 1 kilometer.”

“Apaaa? Hanyaaa? Hanyaaa? Itu sih lumayan buat kaki jadi kaku. Badan juga makin beku.”

Protes Denada yang berada di belakang Tony. Ia masih terlihat kesal, dan lebih memilih bergandengan tangan dengan Sari meski beberapa kali Irfan berusaha meraih tangannya.

Sepanjang perjalanan Sari menghibur sahabat karibnya itu. Bercerita tentang banyak hal lucu yang dialami di Sydney selama ini. Sisi humorisnya memang sangat berguna. Selain bisa mencairkan suasana, jarak 2 kilometer yang ditempuh menjadi tidak terasa.

Namun di tengah-tengah perjalanan, obrolan Sari terhenti. Begitu juga dengan langkahnya. Wajahnya pucat pasi, muncul keringat di dahinya. Ia memegang perut karena menahan sakit yang begitu dahsyat. Baru ingat bahwa hari itu merupakan hari pertama menstruasi sehingga ia merasakan perihnya dismenhoria.

Sontak semua menjadi cemas, minor accident terjadi sebelum sampai di pos bunder.

Akhirnya Tony pun langsung mengambil tindakan menggendong Sari ke belakang punggungnya.

“Kita lanjutkan perjalanan, sedikit lagi sudah sampai di pos bunder. Kita rehat disana. Ada air panas yang setidaknya bisa kita gunakan untuk mengompres perut Sari nanti.

Fan, kamu gandeng Denada, kita percepat langkah kita” perintah Tony.

Pendaki yang sudah terbiasa mendaki biasanya bisa sampai di pos bunder dalam kurun waktu dua jam, tetapi karena keadaan darurat seperti ini apalagi hanyalah Tony lah yang terbiasa berjalan di medan yang curam, jadi sesampainya di pos bunder setelah menghabiskan waktu sekitar tiga jam. Sari yang sudah diobati dengan asam efenamat dan perutnya pun sudah dikompres air hangat, keadaannya mulai membaik. Ia sudah mampu berjalan seperti biasa, namun kali ini dengan dituntun Tony sampai ke puncak. Satu kilometer lagi sampai di puncak kawah ijen. Menyusuri kegelapan pada dini hari.

Semakin dekat dengan puncak, semakin terlihat juga cahaya lampu senter para wisatawan dan backpacker lain yang saling bertabrakan. Tak jarang pula berpapasan dengan para penambang belerang di dekat pos bunder.

“Masih kuat mbak, mas? Sabar, tinggal sedikit lagi” kata seorang bapak-bapak yang sedang memikul bongkahan belerang sebesar kaki gajah itu.

Tidak ada raut wajah lelah yang ditunjukkan Bapak si penambang belerang. Keramah tamahan dan senyumnya menyemangati empat pemuda untuk bangkit dari peristirahatan.

Ketika yang lain mulai melanjutkan perjalanan, Irfan kembali menemui bapak penambang belerang. “Bapak, boleh saya minta tolong?”

***

Langkah kaki semakin berat. Denada terhenti, terdiam, ia tak berkedip ketika samar-samar memandang keajaiban Tuhan yang ada di depan mata telanjang. Betapa takjubnya ia.

“Kita sudah sampai.. in here, Blue Fire.. The World Destination!!!”

teriak Tony melepaskan kegembiraannya.

Segera Irfan meraih tangan Denada. Kali ini Denada tak mampu menolaknya lagi. Tangan kekasihnya itu menggenggam erat tangannya, kemudian mengecup pipi kirinya.

“Selamat Ulang Tahun, sayang...”

Kalimat yang sederhana, namun cukup membuat Denada tak kuasa menahan air mata. Terharu nan bahagia. Fenomena yang sangat indah. Tepat di danau dengan kawah yang membentang luas dan terbesar di dunia. Kado paling menakjubkan yang pernah diberikan oleh Irfan.

“Kau tau, mengapa aku mengajakmu ke tempat ini? Lihatlah nyala-nyala cahaya api biru itu. Blue Fire, menginterprestasikan betapa bersyukurnya aku telah memilikimu.

Betapa rumitnya perasaanku seperti sulur-sulur blue fire yang menyerupai urat nadi itu kian menyadarkanku, betapa panas dan merasa hidupnya aku setiap berada di dekatmu.

Blue Fire tidak bisa membakar kayu, namun bisa melelehkan besi. Sama sepertiku, yang tak bisa menahan ego setiap kali tanpa sadar terkadang aku tlah membuatmu jengkel.

Tapi rasa memiliki ini ibarat katalisator yang tiada henti-hentinya mengingatkan aku akan besarnya kasih dan sayang yang tercurah. Itulah Blue Fire untukmu, Denada...”

Denada tak bisa berkata-kata. Hatinya sudah meleleh dengan semua kejutan manis yang ditunjukkan Irfan. Hilang sudah rasa kesal, sakit, dan lelah, semua menguap begitu saja. Seolah terbayarkan dengan tenggelamnya ia dalam nuansa magis tersebut.

Waktu berganti menjadi pagi dini hari, blue fire mulai menghilang. Sinar mentari terpancar dari balik tebing hingga memunculkan pemandangan kawah ijen menjadi sangat jelas. Cahaya memantul tepat menerangi kawah, dihiasi kabut belerang yang tersisa, membuat siapa saja yang melihatnya terpesona. Air kawah berkilauan, bak semburan berlian bewarna hijau tosca. Mereka menjadi saksi atas momen-momen perubahan alam yang eksotis nan luar biasa.

Pertunjukan pemandangan indah belum selesai. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak sisi selatan kawah, memandangi gradasi warna hitam tanah, putihnya kapur, dan semburat warna segar kuning belerang yang berpadu satu sama lain. Hingga sampailah mereka di dekat pohon-pohon kering yang mati. Pohon-pohon itu mati karena serangan asap belerang akibat letusan terakhir pada tahun 1993. Namun anehnya batang pohon tetap kokoh berdiri, dan memberikan kesan humanis bagi siapa saja yang melihatnya.

Di salah satu pohon, sesuatu tergantung. Sebuah kotak kaca dengan pita merah yang melilitnya.Denada yang tersadar akan hal itu, langsung meraih kotak tersebut. Tony memberikan isyarat agar Denada segera membukanya.

“Itu hadiah buat kamu...” ujarnya.

Denada membuka kotak kaca itu pelan-pelan. Terdapat sebuah cicin emas dengan hiasan permata di atasnya, dan terdapat pula sebuah bongkahan belerang berbentuk hati.

Irfan berlutut dan menggenggam tangan Denada lagi.

Dear... ada dua hadiah yang aku berikan untukmu. Sebuah cincin yang mengartikan sebuah ikatan yang lebih serius, dan bongkahan belerang berbentuk hati yang mewakili perasaanku. Dua tahun, waktu yang cukup bagiku untuk lebih mengenalmu. Waktu yang sudah kita lalui bersama untuk semakin dekat dan mengerti satu sama lain, waktu dimana kita saling mendengarkan keluh kesah, memecahkan setiap masalah demi masalah, mengukir momen indah berdua. Yang aku tau, aku sangat bersyukur, Tuhan telah memberikan kesempatan dan mempertemukan kita. Mungkin, aku bukan seorang laki-laki yang sempurna. Aku hanya berusaha menjadi seseorang terbaik yang aku bisa. Seseorang yang bisa bermakna bagimu, dan melengkapi hidupmu..”

Kata-kata Irfan membuat Denada tak bisa membendung air matanya lagi. Kali ini, air mata bahagia itu benar-benar terjatuh semakin deras. Degup jantungnya berdetak hebat.

“Hari ini, aku memberanikan diri untuk mempertanyakan keyakinanmu padaku. Apakah kau mau menerimaku untuk selamanya menjadi pendamping hidupmu, membangun masa depan indah berdua? Jika ya, kau bisa langsung memakai cicin itu di jari manis tangan kananmu . Tetapi jika tidak, kau bisa membuang bongkahan belerang berbentuk hati itu di depanku. Lemparkan ke dalam kawah panas, agar terekam dalam memoriku tentang pupusnya harapan untuk bisa bersamamu.”

Denada terdiam. Lama ia termenung memikirkannya. Suasana pagi hari itu pun semakin tegang.

“Aku.. nggak bisa...” jawabnya, dengan suara sedikit lirih.

Semua sontak kaget dan tercengang mendengar pernyataan Denada. Sari pun seakan tak percaya. “Sahabatku, Denada.. apakah kamu yakin?” tanya Sari untuk memastikannya.

“Maksudku, aku nggak bisa memakainya. Tegakah kamu, melihat kedua tanganku penuh dengan hadiah dan aku tidak bisa memasang cincin indah ini sendirian.” ucap Denada dengan tersenyum manja kepada Irfan.

Mendengar kelanjutan pernyataan itu, Irfan beranjak berdiri dan memeluk Denada erat-erat. Sampai-sampai Denada susah bernapas. Irfan bahkan mencium kening kekasihnya beberapa menit. Tak peduli ada dua pasang mata yang lain disana dari awal sudah ikut terlarut dalam fantasi romansa yang diciptakan.

Akhirnya Tony tak mau kalah. Ia tidak mau melewatkan momen manis itu. Sari yang sedari tadi hanya menjadi penonton setia, tiba-tiba terenyuh ketika Tony berani memandangnya begitu lama. Tatapan yang penuh arti. Dan tanpa kata-kata pun, Sari bisa menerjemahkannya. Kontak mata memberikan suatu pertanda. Bahwa ada ketertarikan diantara dua anak manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun