Saat-saat menentukan bangsa Indonesia semakin dekat. Tanggal 9 Juli nasib bangsa ini dipertaruhkan, apakah akan menjadi bangsa yang makin maju atau "stagnan" seperti 10 tahun terakhir ini. Banyak khalayak, juga pengamat, memprediksi pertarungan sebenarnya hanya akan melibatkan Jokowi dan Prabowo. Aku tidak memihak siapapun dalam hal ini karena sepertinya hanya pada kedua orang inilah nasib bangsa ini akan dipercayakan. Biarlah rakyat yang menentukan siapa yang mereka percaya menjadi pemimpin 5 tahun kedepan. Akupun tak hendak memberikan penilaian  pada keduanya. Sudah terlalu banyak komentator-komentator yang komentarnya bersliweran di jagad maya. Yang ingin aku kupas justru komentar-komentar yang bersliweran itu. Ada yang lucu, ada yang nyinyir. Ada yang serius dengan memperlihatkan data-data yang diklaim empiris, ada pula yang sekadar meramaikan suasana. Satu hal yang aku prihatinkan kadang komentar-komentar itu hanya berlandaskan pada kebencian semata tanpa mencoba melihat secara obyektif kondisi yang ada. Fakta ini juga yang membuat aku ‘gatal’ sehingga lahirlah tulisan ini.
Inilah fakta-fakta yang menjadi intisari dari komentar-komentar yang ada yang coba aku kumpulkan
1.Yang paling sering disebutkan dengan sinis bahwa JKW hanya boneka dari PDIP cq Megawati. JKW tidak bakal independen, JKW membebek dsb. Tak lupa dimunculkan foto-foto Mega menggendong JKW. Belakangan muncul Emrus yang tanpa ba bi bu langsung melakukan serangan tajam pada kubu JKW. Dng tajamnya dia menghardik dan menantang : beranikah JKW lepas dari dominasi PDIP. Lucu membaca semua ini. Siapa sih JKW dibandingkan Megawati dan PDIP. Dia bukan siapa-siapa dan tidak ada apa-apanya. Ketua Partaipun bukan. Kebetulan dia dicapreskan oleh Megawati yang punya kekuasaan tak terbatas di PDIP. Amanat kongres di Bali secara tegas mengatakan hanya Megawati yang pegang pena untuk menunjuk siapapun jadi capres yang diusung PDIP. JKW telah resmi dicapreskan. Tapi ketua partai tetap Megawati. Dia dengan pengalamannya diharapkan sukses membawa JKW sebagai RI 1. Dengan posisi itu nggak mungkinlah JKW bisa lepas dari tuntunan Megawati. Sekejap saja Megawati dikecewakan, sekejap itu pula dukungannya bisa luntur. JKW pasti sudah sangat mengenal tabiat ketuanya. Itukah yang disebut boneka, membeo ??
Sebagai protesis, kemarin Demokrat menyelesaikan konvensinya. Hasil akhirnya masih menunggu pilihan masyarakat melalui polling. Menyangkut rencana koalisi semua peserta konvensi bersuara sama yaitu menunggu arahan SBY. Ada gak yang berani menyuarakan berbeda dengan Ketua Partainya. Juga kelak apabila Demokrat telah menetapkan capres (atau cawapres). Nah, apa bedanya dengan JKW terhadap Megawati sekarang ini. Nggak salah Fadli Zon bikin puisi, tapi diapun akan pada posisi seperti itu bila dia dicalonkan oleh Prabowo misalnya.
2.Para supporter JKW di dunia maya dikenal dengan sebutan Panasbung (Pasukan Nasi Bungkus). Padahal dulu sebutan ini dikenal sebagai ledekan buat pendukung Foke saat ramai-ramainya pilgub DKI 2012. Entah kenapa dan mulai kapan sebutan ini dilekatkan untuk pendukung JKW. Disebutkan Panasbung dibiayai oleh kekuatan pemodal dari dalam dan konon luar negeri. Aku yakin sebagian besar dari mereka adalah pendukung murni JKW yang tidak rela idolanya dihujat dan dihina oleh para pesaingnya karena kadang memang menyerang dengan cara ‘asal menyerang’ tanpa didukung fakta yang memadai. Mereka bisa menilai komentar yang asal komentar dan komentar yang bermaksud mengkritisi.
Di alam yang katanya demokrasi seperti sekarang ini ‘serangan udara’ seperti ini sangat lazim dan biasa. Semua orang bisa melakukannya, karena sangat mudah, murah dan kalau mau bisa pakai nama yang berbeda-beda sesuka hati. Nah, dengan berbagai berkemudahan itu mestinya semua orang bisa melakukannya dan metode ini bisa dengan mudah di-copy paste oleh pesaing. Jadi sungguh aneh kalau satu pihak mengeluhkan adanya serangan udara dari para pendukung JKW. Mereka toh dengan mudah dapat melakukan serangan balik, semudah membalik telapak tangan. Kalau jumlah mereka kalah banyak dengan pendukung JKW berarti jualannya kurang laku atau kurang menarik.  Tidak perlu mengeluh, menuduh dan menyalahkan pihak lain. Serang balik saja.
Masih banyak hal-hal lain bisa dipaparkan disini. Baik karena lucunya maupun karena anehnya. Mungkin di kesempatan lain aku tuangkan. Yang aku sesalkan tidak ada (atau belum ada) semangat kebersamaan diantara komponen bangsa ini menghadapi masa depan bangsa ini. Yang ada hanya semangat menghujat, menghina, menjatuhkan, memfitnah. Di AS juga tidak kalah panasnya dengan disini saat pilpres. Tapi lihatlah ketika sudah diketahui pemenangnya, langsung rakyatnya bersatu lagi. Tidak ada lagi dendam dan persaingan. Pemimpinnyapun bertindak arif dan ksatria. Saat Al Gore kalah tipis dari George Bush dia tidak mempermasalahkan dan menerima dengan sadar dan ikhlas. Aku tidak bisa bayangkan andai hal itu terjadi disini.
Marilah kita mencoba untuk bertindak dewasa. Prabowopun bukan tidak ada prestasinya. Pembebasan sandera di Irian Jaya (sebelum jadi Papua) adalah salah satu prestasi yang tidak bisa dimungkiri. Aku ingin negeri ini bersatu dan bersemangat membangun negeri.
Aku jadi teringat pengalaman pribadiku. Akhir 1990an aku pernah ketemu Megawati di hotel Melia dan bersalaman dengannya. Tak lama kemudian dia jadi Wapres dan kemudian Presiden RI ke 5. Tahun lalu aku ketemu Prabaowo saat di bandara Dubai dan sempat bersalaman dengannya. Beberapa bulan kemudian ketemu JKW di Monas saat pameran Kraton dunia dan sempat bersalaman dan menyapanya. Nah, aku percaya salah satu akan jadi presiden RI berikutnya. Kita tunggu hitung cepat tanggal 9 Juli 2014 mulai jam 14.00 WIB. He he he...
April 2014
Merdeka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H