Semua jemaah haji Indonesia telah kembali dari Tanah Suci ke tanah air per tanggal 22 Juli 2024. Kloter terakhir yang dipulangkan dari Tanah Suci ke tanah air adalah Kloter 30 asal Embarkasi Kertajati (KJT 30), Jawa Barat.
KJT 30 dipulangkan melalui Bandara AMAA (Amir Muhammad Bin Abdul Aziz), Madinah. Hal itu dikarenakan KJT 30 tentunya merupakan jemaah haji Gelombang II dan semua jemaah haji Gelombang II pulang ke tanah air melalui Bandara AMAA.
Setelah jemaah haji KJT 30 kembali ke tanah air praktis tak ada lagi kloter jemaah haji yang tersisa di sana. Hal itu berarti penyelenggaraan ibadah haji 1445 H/2024 M telah seratus persen usai.
Secara keseluruhan penyelenggaraan ibadah haji 1445 H/2024 M berjalan baik, sukses, dan lancar. Kalau pun ada sedikit-sedikit hal yang kurang itu merupakan sesuatu yang "wajar".
Berdasarkan informasi yang disampaikan Media Center Kementerian Agama (22/07), jemaah haji reguler yang wafat pada musim haji tahun ini mencapai 461 orang. Sedangkan jemaah haji yang masih dirawat di RS Arab Saudi, yakni di Mekkah, Madinah, dan Jeddah ada 62 orang.
Dalam perspektif agama, jemaah haji yang meninggal di Tanah Suci itu adalah para syuhada, yakni mati dalam keadaan syahid. Dikatakan demikian karena mereka meninggal dalam keadaan menjalankan perintah Allah SWT, yakni melaksanakan ibadah haji.
Sementara itu jemaah haji yang bisa kembali ke tanah air tentu patut bersyukur. Sebab mereka bisa berkumpul kembali dengan keluarga, bisa kembali bertemu dengan teman atau kolega, dan bisa beraktivitas kembali seperti biasa.
Jemaah haji yang kembali ke tanah air, mereka adalah para alumni "diklat 40 hari" di Tanah Suci. Hal itu dikarenakan selama 40 hari para jemaah haji dididik dan dilatih agar memiliki sikap dan sifat yang baik.
Melalui berbagai ritual ibadah haji seperti tawaf, sa'i, wukuf, melontar jumrah, mabit di Muzdalifah dan Mina, dan lain-lain, para jemaah haji dididik dan dilatih agar memiliki sikap dan sifat sabar, tawakkal, pemaaf, disiplin, rendah hati, toleran, moderat, ulet, pantang menyerah, peduli, dan lain-lain.
Praktis selama 40 hari di Tanah Suci, bisa dikatakan para jemaah haji semuanya terbentuk menjadi orang-orang baik yang memiliki sikap dan sifat seperti di atas. Mereka saling peduli, saling perhatian, saling mengalah, saling membantu, dan juga saling menguatkan satu sama lain.
Idealnya apa yang didapatkan dan dilaksanakan para jemaah haji di Tanah Suci selama 40 hari itu bisa diterapkan pula di tanah air. Mereka idealnya bisa mengimplementasikan hasil "diklat" di Tanah Suci itu dalam kehidupan sehari-hari pasca mereka kembali dari sana.
Para jemaah haji atau siapa pun, ketika berada di Tanah Suci bersikap dan memiliki sifat yang baik itu merupakan sesuatu yang wajar. Sebab waktu dan tempat, juga situasi dan kondisi sangat memungkin dan kondusif.
Ibaratnya seperti orang bersikap dan berbuat baik ketika berada di tempat ibadah, seperti di masjid misalnya, itu merupakan sesuatu yang wajar adanya. Sebab masjid memang tempat orang melakukan kebaikan.
Tantangan sesungguhnya adalah justru ketika orang berada di luar masjid. Apakah masih bisa tetap bersikap dan berbuat baik?
Nah para jemaah haji pun demikian. Tantangan sesungguhnya adalah justru ketika mereka sudah kembali dari Tanah Suci ke tanah air. Apakah mereka bisa kontinyu terus melakukan kebaikan-kebaikan dan masih memiliki sikap dan sifat yang terkandung dalam nilai-nilai ibadah haji?
Seandainya para jemaah haji bisa konsisten dan kontinyu terus melakukan kebaikan-kebaikan dan terus memiliki sikap dan sifat sebagaimana terkandung dalam nilai-nilai ibadah haji, hal itu merupakan sesuatu yang hebat dan luar biasa. Berarti ibadah haji yang dilaksanakannya bisa masuk kategori "mabrur". Insya Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H