Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tradisi Peringatan Isra Mi'raj di Masa Pandemi

11 Maret 2021   12:01 Diperbarui: 11 Maret 2021   13:48 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW merupakan peristiwa yang sungguh luar biasa. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun Hijriyah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, peristiwa itu terjadi pada tahun pertama sebelum Nabi SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah, yaitu antara tahun 620-621 M.

Bagi umat Islam Indonesia, peristiwa Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW biasa diperingati dan dirayakan setiap tahunnya. Tradisi peringatan Isra Mi'raj biasa dilakukan berbagai elemen dan lapisan umat Islam dengan khidmat dan meriah. Mulai dari mereka yang ada di ibukota sampai mereka yang ada di pelosok-pelosok desa.  

Tidak hanya dirayakan di masjid-masjid, tradisi peringatan Isra Mi'raj juga biasa dirayakan di banyak tempat. Seperti di lembag-lembaga pendidikan Islam, dinas instansi, perusahaan-perusahaan, sampai di rumah-rumah keluarga muslim.

Bahkan tradisi peringatan Isra Mi'raj juga sudah sejak lama menjadi agenda nasional dan termasuk salah satu PHBI (Peringatan Hari Besar islam). Secara rutin tiap tahun pemerintah pusat biasa pula merayakan peringatan Isra Mi'raj ini di masjid negara, yaitu di masjid Istiqlal Jakarta.

Hanya saja setelah ada pandemi covid-19 sejak awal Maret 2020 lalu, perayaan peringatan Isra Miraj di banyak tempat tidak lagi diselenggarakan secara normal seperti sebelumnya. Tahun 2021 ini merupakan tahun kedua perayaan peringatan Isra Mi'raj tidak diselenggarakan secara normal.

Hal itu dilakukan dalam rangka pencegahan penularan virus corona (covid-19). Sebab dalam setiap perayaan peringatan Isra Mi'raj selalu melibatkan banyak orang dan menciptakan kerumunan massa  yang banyak.

Namun ada saja beberapa pihak yang ngeyel dan kurang memiliki sense of crisis. Mereka tetap menyelenggarakan perayaan peringatan Isra Mi'raj secara normal tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Biasanya mereka yang seperti itu adalah sebagian korban hoaks yang kurang mempercayai adanya virus corona (covid-19).

Padahal substansi peringatan Isra Mi'raj bukanlah dalam perayaannya, melainkan dalam sikap dan keyakinan dengan mempercayai terjadinya peristiwa itu dengan sepenuh hati tanpa sebuah keraguan dan kemudian menjalankan atau mengamalkan hasil dari peristiwa itu.

Peristiwa Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW adalah peristiwa spiritual yang sangat jelas disebutkan dalam kitab suci Al-Qur'an. Artinya tingkat kebenarannya sudah sangat qoth'i (pasti/meyakinkan).

Namun sebagian orang masih terjebak dalam logika mereka sendiri yang terbatas. Padahal jika saja mereka menggunakan logika yang benar, mereka pasti akan mempercayai dan meyakini bahwa peristiwa Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW merupakan hal yang sangat logis.

Sebagaimana dijelaskan dalam QS 17 : 1 bahwa peristiwa Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW terjadi hanya dalam satu malam. Padahal dalam peristiwa itu ada dua kegiatan yang dilakukan oleh Nabi SAW, yaitu peristiwa "Isra" dan peristiwa "Mi'raj".

Istilah "Isra" berarti perjalanan Nabi SAW dari Masjid Al-Haram yang ada di kota mekkah ke Masjid Al-Aqsha yang ada di Palestina. Melihat jarak  antara kedua masjid itu nampaknya perjalanan "Isra" Nabi SAW merupakan sesuatu yang mustahil. Sebab jarak antara kota Mekkah dan kota Yerusalem berjarak  kurang lebih 1.500 km.

Pertanyaannya, berapa kecepatan perjalanan Nabi SAW waktu itu? Kalau kecepatan perjalanan beliau diasumsikan 100 km/jam saja, berarti butuh waktu 15 jam untuk sampai ke Masjid Al-Aqsha dari Masjid Al-Haram. Padahal waktu itu tidak ada kendaraan yang kecepatannya mencapai 100 km/jam.

Dalam hal ini sangat penting memahami bunyi teks QS 17 : 1. Di sana disebutkan bahwa Allah SWT memperjalankan hamba-Nya (Nabi SAW ). Artinya bukan Nabi SAW sendiri yang berjalan. Kalau Nabi SAW sendiri yang berjalan, jelas sangat mustahil bisa menempuh perjalanan dari Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsha dalam tempo yang singkat.    

Hal ini bisa kita analogikan dengan "logika" semut misalnya. Kecepatan berjalan seekor semut banyak disebutkan sekira 0,5 km/jam. Walau tentu saja ada jenis semut tertentu yang lebih cepat dari itu, atau mungkin lebih lambat.

Kalau semut berjalan dari Bandung ke Jakarta dengan kecepatan 0,5 km/jam, maka semut membutuhkan waktu sekira 300 jam. Sebab jarak Bandung-Jakarta kurang lebih 150 km. 

Akan tetapi semut bisa sampai ke Jakarta dari Bandung hanya dengan waktu 2-3 jam saja. Kok bisa? Ya sangat bisa.

Syaratnya semut tidak berjalan tapi diperjalankan. Artinya semut tidak berjalan sendiri melainkan dinaikkan ke mobil misalnya.

Begitupula Nabi SAW. Walau pun jarak Mekkah-Yerusalem sangat jauh, tapi  beliau bisa menempuhnya dalam waktu yang singkat. Sebab Nabi SAW tidak berjalan, melainkan diperjalankan.

Kemudian dalam peristiwa "Mi'raj" lebih spektakuler lagi. Istilah "Mi'raj" yang berarti Nabi SAW dinaikkan dari Masjid Al-Aqsha ke Sidratul Muntaha yang ada di langit yang sangat jauh.

Sidratul Muntaha adalah tempat metafisik. Entah berapa jauh jarak dari Yerusalem ke Sidratul Muntaha tersebut.

Andaikan saja Sidratul Muntaha berada di posisi yang jaraknya sama dengan matahari. Berarti jarak Masjid Al-Aqsha ke Sidratul Muntaha sekira 150 juta km. Membutuhkan waktu sangat  lama untuk sampai ke sana.

Padahal Sidratul Muntaha berada di langit yang sangat jauh. Mungkin jarak bumi  ke Sidratul Muntaha berlipat-lipat kali lebih jauh dari jarak bumi ke matahari.

Begitulah peristiwa Isra Mi'raj, sebuah peristiwa yang sangat luar biasa. Sepertinya peristiwa itu mustahil, tapi dengan "logika" semut saja hal itu bisa dijelaskan sebagai sebuah peristiwa yang sangat logis.

Bagi umat Islam yang saat ini tidak bisa menyelenggarakan tradisi peringatan Isra Mi'raj seperti biasa, tak usah merasa kecil hati apalagi merasa tidak sempurna menjalankan agama. Sebab situasi saat ini memang kurang memungkinkan untuk merayakan peringatan Isra Mi'raj. Lagi pula peringatan Isra Mi'raj hanya sebuah seremonial, bukan sesuatu yang substansial.

Justru umat Islam di masa pandemi ini harus melakukan evaluasi, jangan-jangan selama ini hanya fokus kepada seremonial peringatan Isra Mi'raj, bukan kepada hal yang substansialnya. Apakah dengan melakukan seremonial peringatan Isra Mi'raj setiap tahun semua umat  Islam sudah tersadarkan untuk melaksanakan hasil dari peristiwa Isra Mi'raj itu sendiri, yakni melaksanakan kewajiban shalat lima waktu?

Kalau tidak, mungkin "format" dari seremonial peringatan Isra Mi'raj belum tepat. Sebab tidak atau kurang bisa memotivasi mereka yang belum tersadarkan untuk melaksanakan hasil dari peristiwa Isra Mi'raj itu sendiri, yakni melaksanakan kewajiban shalat lima waktu. Mungkin harus dicari lagi "format" seremonial peringatan Isra Mi'raj lebih tepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun