Pembahasan terhadap revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang telah masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2021, akhirnya resmi dihentikan di Komisi II DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia). Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia, Rabu (10/02). Dengan demikian revisi UU Pemilu tersebut nanti akan dikeluarkan dari Prolegnas 2021.
Padahal revisi UU Pemilu tersebut semula telah disepakati pemerintah dan DPR dan karenanya dimasukan dalam Prolegnas 2021. Revisi UU Pemilu tersebut bahkan telah ditargetkan selesai pada pertengahan tahun 2021.
Dihentikannya pembahasan revisi UU Pemilu karena dinamika politik yang terjadi. Beberapa partai politik yang semula setuju dengan adanya revisi UU Pemilu berbalik arah jadi tidak setuju alias menolak.
Sikap menolak terhadap revisi UU Pemilu tersebut bermula dilakukan oleh dua partai politik yakni PAN (Partai Amanat Nasional) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Kedua partai itu menyatakan secara terang-terangan menolak RUU Pemilu tersebut.
PAN beralasan bahwa UU Pemilu tersebut belum saatnya direvisi, karena peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini masih sangat baru, yaitu secara formal diterapkan dalam kurun waktu 4-5 tahun terakhir. Menurut PAN, daripada membahas revisi UU Pemilu, pemerintah dan DPR lebih baik fokus menangani pandemi covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Sementara itu menurut PPP, UU Pemilu tak perlu direvisi setiap penyelenggaraan Pemilu. Hal itu supaya ada semacam sakralisasi terhadap sebuah regulasi. Selain itu RUU Pemilu akan mengubah banyak aturan yang masih belum terlaksana, seperti aturan tentang penyelenggaraan Pilkada pada 2024 sesuai dengan UU Pilkada.
Sikap menolak terhadap revisi UU Pemilu yang dilakukan oleh PAN dan PPP kemudian diikuti pula oleh PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. Selanjutnya Partai Golkar, PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), dan Partai Nasdem yang semula ngotot membahas revisi UU Pemilu juga kemudian berbalik arah mengikuti sikap PAN, PPP, PDI Perjuangan dan Partai Gerindra.
Berarti sudah tujuh partai politik yang memiliki fraksi di DPR yang menyatakan sikap menolak terhadap dilanjutkannya revisi UU Pemilu. Dengan demikian partai politik tersisa yang tetap menginginkan revisi UU Pemilu dilanjutkan hanya dua, yakni PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dan Partai Demokrat.
Dua partai politik yang tetap menginginkan revisi UU Pemilu dilanjutkan versus tujuh partai politik yang menolak revisi UU Pemilu dilanjutkan tentu tidak sebanding. Keputusan yang diambil tentu akan berdasarkan suara mayoritas. Oleh karena itu keputusan untuk menolak dilanjutkannya revisi UU Pemilu di Komisi II DPR RI pun diambil berdasarkan sikap mayoritas fraksi.
Berubahnya sikap partai politik yang semula menginginkan adanya revisi UU Pemilu sehingga kemudian bersepakat untuk membahas hal tersebut dan kemudian memasukkannya  ke dalam Prolegnas 2021,  merupakan bentuk inkonsistensi. Dalam politik hal itu bukan sesuatu yang aneh. Politik bersifat sangat dinamis, bahkan dalam hitungan detik sikap politik bisa berubah.
Kepentingan suatu partai politik bisa jadi ada di belakang sikap balik badan sejumlah partai politik itu. Kepentingan yang berbeda bisa jadi juga ada di belakang sikap partai politik yang "konsisten" ingin melanjutkan pembahasan revisi UU Pemilu. Politik memang tidak terlepas dari kepentingan.