Pernahkah Anda didamprat tiba-tiba tanpa sebab jelas oleh orang yang marah itu? Apakah Anda merasa diperlakukan tidak adil dan juga marah kembali kepada orang tersebut? Apakah lalu kejadian itu menjadi konflik yang berkepanjangan? Ini sering terjadi kepada saya. Apalagi saya termasuk orang yang berkarakter tidak sabar dan reaktif. Hasilnya apa? Dia kesal, saya lebih kesal lagi.
Hari ini saya sedang mengantri di mesin ATM. Dibelakang saya antrian mulai mengular panjang. Saat giliran saya, seorang ibu muda berpakaian bermerek dengan iphone terbaru di tangan berjalan santai dari arah lain dan tanpa mengantri, tiba-tiba berdiri di depan layar ATM hendak menyerobot saya. Untungnya saya sudah terlanjur memasukkan kartu ATM saya ke dalam mesin, sehingga ia terpaksa mundur ke belakang sambil menyatakan dengan tegas,”Setelah kamu giliran saya.”
Saya melirik ke belakang, melihat seorang laki-laki berpakaian kantor yang sejak awal mengantri di belakang saya. Saya pun menjawab,”Maaf, tidak bisa bu, mas itu sudah mengantri dari tadi di belakang saya.”
Sang ibu sedang menunduk memainkan handphonenya dan tidak menyahut maupun menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mendengar saya. Saya pun mengulangi kalimat saya bahwa mas di belakang saya sudah mengantri dari tadi dan ia seharusnya mendapatkan giliran setelah saya.
Belum selesai saya mengulangi kalimat saya, si ibu muda melotot kepada saya dan berteriak,”Kamu ngurusin amat sih! Orangnya saja tidak bilang apa-apa, koq kamu yang ribut? Memang kamu pikir saya budeg? Ngapain kamu ngomong diulang-ulang? …” Masih panjang omelannya terhadap saya.
Saya terperanjat dan hampir bereaksi dengan mendampratnya balik untuk belajar mengantri dengan benar dan menghargai orang lain. Tetapi entah apa yang merasuki diri saya, tiba-tiba saya menahan lidah dan menatap si laki-laki berpakaian kantor di belakang saya itu. Ia tersenyum, berterima kasih kepada saya yang telah membela haknya dan mengangguk pelan, menandakan bahwa ia rela mengalah untuk si ibu.
Saya pun menyelesaikan transaksi saya dalam diam, mengangguk tersenyum kepada si ibu dan berjalan pergi. Ia masih merengut.
Saat saya menilik balik kejadian tersebut, saya pun berpikir, jika saya bereaksi terhadap omelan ibu tersebut, hal kecil akan menjadi besar, dan situasi akan menjadi sangat tidak kondusif.
Perlahan saya pun menyadari bahwa kemarahan ibu muda tersebut bukanlah mengenai saya pribadi. Kami tidak mengenal satu sama lain. Kebetulan saja saya berada disana dan memancing kemarahan yang telah ada dalam dirinya dan meledaklah dia. Teringat sebuah pepatah,”Mereka yang sangat sulit dicintai itulah yang sebenarnya paling membutuhkan cinta.” Mungkin saja ia sedang mengalami kesulitan, stress atau frustrasi. Saya harap ledakan emosinya terhadap saya telah melegakan jiwanya barang sedikit.
Jangan salah, saya bukan orang suci maupun bijaksana. Saya sampai di pemikiran ini karena saya pernah berada di posisi si pemarah. Saya ingat beberapa waktu lalu, saat saya mengalami depresi, sering kali saya mendamprat orang-orang di sekeliling saya yang rasanya mengganggu saya. Seiring waktu saya menyadari bahwa saya menyimpan kemarahan dalam diri, seperti sebuah bom waktu. Saat tiba waktunya bom itu meledak, siapapun yang berada di sekitar saya akan menjadi korban ledakan. Namun ledakan kemarahan itu hanyalah symptom luar dari penyakit yang lebih besar. Walaupun setelah mendamprat orang lain rasanya lebih lega sedikit, tetapi selalu ada kemarahan yang bercokol, dan saya tidak bahagia.
Saat saya perlahan belajar memaafkan dan menerima keadaan, saya pun menyadari perubahan yang terjadi. Saat saya tidak lagi menyimpan kemarahan di dalam diri, saya menjadi jauh lebih toleran kepada orang lain di sekeliling saya.