Masih teringat olehku rasa pahit kekecewaan saat staff penjual tiket di loket Ubud Writers and Readers Festival 2016 minggu lalu berkata,”Sudah penuh, mbak.”
Ubud Writers and Readers Festival adalah sebuah festival literatur yang diselenggarakan di Ubud, Bali pada bulan Oktober lalu dengan berbagai pembicara dan penulis dari berbagai belahan dunia. Indonesia sendiri diwakili oleh nama-nama besar seperti Seno Gumira Atmaja, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu, Triyanto Triwikromo, Ananda Sukarlan, dan lain lain. Selain acara temu muka dengan para penulis, juga diselenggarakan berbagai kelas workshop, acara kultural, launching buku dan berbagai kegiatan lainnya.
Aku hendak mendaftarkan diri untuk mengikuti beberapa workshop menulis yang diadakan oleh para penulis internasional. Tidak rela pergi begitu saja, aku berdiri disana selama dua puluh menit selanjutnya, berusaha merayu, membujuk sampai memaksa staff tiket untuk memasukkan namaku ke dalam daftar peserta. Dengan raut muka meminta maaf, para staff tiket menjelaskan bahwa mereka tidak mempunyai hak untuk ‘menyelipkan’ namaku ke daftar yang memang sudah penuh karena peserta workshop dibatasi hanya dua puluh orang sesuai permintaan para pembicara.
Dengan hati berat, aku pun menyerah dan berjalan pergi. Tetapi sesuai karakterku yang ngotot , aku bertekad bahwa aku tidak akan menerima kata ‘tidak’ begitu saja tanpa perjuangan.
Keesokan harinya, pagi-pagi buta, aku berangkat ke tempat penyelenggaraan workshop, tentunya tanpa tiket masuk. Dengan bersenjatakan sebuah tas ransel berisi sebuah buku catatan, sebatang pen dan sebotol air minum, aku pun melangkah segagah yang dapat kulakukan dengan kakiku yang cacat. Venue masih sepi saat aku tiba. Berkas sinar matahari pagi menyeruak menembus dedaunan hijau di tengah pedalaman Ubud, menyapa kulit wajahku, lalu kuhirup udara segar pagi itu dalam-dalam. Paru-paruku terkejut saat menyadari tidak adanya elemen asap knalpot yang telah begitu ia kenal di hiruk pikuknya ibukota. Aku pun mendudukkan diri di depan pintu kayu yang masih tertutup rapat. Kututup kedua mataku dan kubiarkan banjir sensasi menenggelamkan semua indraku. Asing rasanya, tetapi juga sangat familiar. Hijaunya pepohonan, gemerisik daun yang disapa angin lembut, kicau burung yang samar-samar, aroma tanah basah yang baru diguyur air hujan. Kurasakan bahuku yang tegang melemas, kecemasanku mulai menghilang perlahan.
Aku tidak lagi tahu berapa lama aku telah duduk disana, saat terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Kubuka mataku dan kulihat seorang wanita paruh baya dengan rambut perak dan sepasang mata yang lembut ekspresif. Ialah sang pembicara workshop. Aku tersenyum padanya dan wanita itu pun menyapa lembut,”Hello, aku Shelley.”
Aku pun memperkenalkan diri dan menjelaskan padanya bahwa aku telah kehabisan tiket. Tetapi aku sangat ingin mengikuti kelas workshopnya dan aku berharap ia dapat membuat pengecualian dan menerimaku. Mata cokelat lembutnya terbelalak dan ia berkata,”Oh wow, kamu sudah datang sepagi ini. Dan karena kamu toh sudah disini, aku benar-benar tidak ingin menolakmu. Silakan masuk. Aku akan menambahkan kursi untukmu.” Yes! Aku berhasil.
Setelah kelas selesai, di acara literatur lainnya, aku berbicara dengan beberapa peserta festival dan mereka menyatakan bahwa mereka sangat ingin mengikuti kelas-kelas workshop, tetapi sayang tiketnya sudah terjual habis.
Aku pun teringat bagaimana aku berdebat dengan diriku sendiri, apakah perlu aku datang pagi-pagi tanpa tiket ke kelas-kelas workshop? Bagaimana kalau ditolak dan diusir? Aku juga teringat akan akalku yang berusaha merasionalisasi, “Sudah, tidak usah ngotot, mereka kan sudah bilang kelasnya penuh. Terima saja.”
Aku bersyukur bahwa saat itu, aku menutup telinga dan memilih untuk tidak mendengarkan keraguan dan ketakutanku akan penolakan. Saat aku mengambil resiko untuk dipermalukan dan diusir, aku malah dipersilakan untuk duduk paling depan di beberapa acara. Aku belajar dari guru-guru terbaik, akalku dibuka, jiwaku dibawa menjelajah ranah pengetahuan baru. Betapa indah.