Mohon tunggu...
Wiwik Winarsih
Wiwik Winarsih Mohon Tunggu... Konsultan - Hati yang gembira adalah obat

Pekerja Lepas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Mau "New Normal" Tapi...

3 Juni 2020   10:55 Diperbarui: 3 Juni 2020   10:59 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana agar adaptasi protokol new normal segera diadopsi oleh banyak orang? Belajar dari pengalaman mencari informasi saat awal pandemi nampaknya informasi yang mudah diakses dari pihak yang terpercaya adalah kunci agar terjadi perubahan perilaku.

Kembali ke cerita tukang bakso di atas. Saat saya bilang boleh berjualan tetapi tetap harus memakai masker, si abang bakso itu tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Dia tidak mengatakan iya tetapi juga tidak membantah. Reaksinya menunjukkan seolah-olah itu bukan urusannya. Saya tidak yakin dia tidak pernah mendengar mengapa harus memakai masker. Saya hampir yakin dia memiliki handphone yang minimal bisa mengakses Youtube yang biasa dia gunakan untuk menikmati lagu-lagu almarhum The God Father of Broken Heart. Menjadi sobat ambyar. Tetapi memang seperti itulah cara kerja internet yang hanya akan memunculkan sesuatu yang sering dicari oleh penggunanya.

Oleh karena itu pihak yang berwenang atau media masa utama perlu membombardir jalur informasi dengan sebanyak-banyaknya informasi tentang protokol new normal. Saat ini agak disayangkan, katanya orang Indonesia suka sekali nonton televisi tetapi begitu sedikit informasi tentang "new normal" di telivisi. Stasiun televisi khusus berita tentu saja sudah membahas habis tentang pandemi Covid-19 sampai dengan isu terbarunya yaitu adaptasi "new normal". Karena itu memang jualannya. Tetapi berapa banyak yang menonton televisi jenis ini? Kebanyakaan orang lebih suka menonton televisi hiburan.

Ada beberapa televisi yang menyediakan iklan layanan terkaid Covid-19 tetapi tidak update. Masih ada yang menyiarkan agar tidak memborong sembako, masker atau hand sanitaizer. Info ini benar tetapi hanya bermanfaat disiarkan saat awal pandemi dulu. Ada yang masih menyiarkan iklan layanan agar tidak mudik saat sekarang sudah arus balik.

Kebutuhan informasi sudah berubah saat ini. Alangkah akan sangat membantu apabila di seluruh televisi hiburan di Indonesaia setiap 2 jam sekali ada informasi tentang adaptasi protokol new normal. Disiarkan terus-menerus sampai bahkan orang yang menonton televisi sambil ngobrolpun akhirnya mendapat informasi yang lengkap dan hapal isi beritanya. Masa Pemerintah tidak bisa memaksa stasiun televisi menyiarkan hal-hal seperti ini? Masa para pengelola stasiun televisi tidak bersedia membuat iklan layanan masyarakat untuk kejadian yang up to date yang menyangkut kepentingan masyarakan luas?

Bergerak Bersama-Sama

Sudah menjadi sifatnya orang merasa senang menjadi bagian dari sesuatu. Itulah mengapa orang berpartisipasi. Bagaimana kalau watunya sedikit dan mendesak? Maka diperlukan mobilisasi. Tokoh-tokoh panutan harus dilibatkan untuk mengajak pengikutnya melakukan protokol kesehatan. Ketua RT adalah ujung tombak untuk memastikan semua warganya mematuhi protokol kesehatan. Tidak terlalu sulit memobilisasi orang saat ini. Saya yakin lebih banyak RT yang telah memiliki grup WhatsApp dari pada yang tidak memiliki. Apabila sampai tanggal 5 Juni nanti yang katanya mall akan dibuka lagi tetapi tidak ada upaya mobilisasi agar orang tertib mematuhi protokol kesehatan, gelombang kedua serangan virus Covid-19 rasanya tidak terhindarkan lagi.

Semoga tidak banyak yang lupa hasil penelitian awal pandemi Covid-19 yang mengatakan orang Jepang terlindungi dari virus korona karena mereka tidak bersalaman dan terbiasa memakai masker jauh sebelum adanya virus korona. Semua orang Jepang melakukan itu karena sudah menjadi budaya. Sama dengan adapatasi "new normal" ini. Apabila semua orang melakukan bersama-sama akan menjadi gelombang besar perilaku baru dan meniadakan perilaku yang bertentangan dengan adaptasi "new normal". Apabila si abang bakso itu masuk gelombang besar ini maka memakai masker menjadi wajar baginya.

Epiloq

Saat berlebaran virtual dengan seorang teman yang tinggal di Kota Surabaya mengatakan walaupun di Jawa Timur kasus positif Covid-19 meningkat tajam tetapi di Surabaya tidak ada penambahan kasus. Teman saya itu bahkan membicarakannya dengan rasa syukur. Tepapi beberapa hari ini saluran berita dibombardir dengan pembicaraan jumlah kasus positif Covid-19 yang meningkat tajam di Surabaya. Yang membuat lega para pejabat di Surabaya tidak menjawab berita ini dengan bantahan tetapi menunjukkan langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi kasus positif. Entah apa maksud pemberitaan yang besar-besaran ini tetapi apabila menghendaki warga masyarakat waspada dengan memberitakan ketakutan, cara ini sudah tidak mempan lagi. Yang diperlukan masyarakat bukan rasa takut tetapi cara mengantisipasi pandemi ini. Memberikan informasi sebanyak-banyaknya bagaimana berdampingan dengan virus ini dan dan hidup dengan budaya kesehatan baru yang mungkin tetap harus dipraktekkan bahkan sampai satu atau dua tahun mendatang.

Catatan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun