Mohon tunggu...
Wiwik Winarsih
Wiwik Winarsih Mohon Tunggu... Konsultan - Hati yang gembira adalah obat

Pekerja Lepas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Belajar dari Kisruh Taman Ismail Marzuki, Siapa yang harus Didengarkan Pemerintah?

3 Desember 2019   19:14 Diperbarui: 5 Desember 2019   08:32 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aspirasi yang Berharga
Proses mendengarkan sebenarnya sudah biasa diterapkan oleh Pemerintah sejak berlakunya otonomi daerah melalui rembuk pembangunan untuk menyusun rencana pembangunan. 

Suatu kegiatan rembuk pembangunan yang memenuhi syarat adalah apabila representasi (perwakilan) dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana pembangunan itu mestinya hadir. 

Semakin lengkap semakin baik. Kesulitannya adalah menentukan siapa sebenarnya stakeholders dari pembangunan itu? Bahasa yang sering digunakan adalah para penyelenggara pemerintahan yang penyusun program pembangunan harus melakukan analisa pemangku kepentingan dan mereka yang menentukan siapa yang dapat mengikuti rembuk pembangunan. 

Apabila tidak ada jiwa besar dan kemampuan mendengarkan para penyelenggara pemerintahan tentu lebih suka mendengarkan dari pihak-pihak yang diperkirakan akan setuju dengan rencana pembangunan, agar rembuk pembangunannya berjalan lancar dan tercatat sudah dilaksanakan. 

Ini yang sering menimbulkan permasalahan.

Apa yang akan terjadi apabila representasi tidak lengkap? Rembuk pembangunan bisa jadi berjalan lancar, kesepakatan mudah diambil tetapi seringkali kebijakan yang dihasilkan dari rembuk seperti ini berpotensi menimbulkan ketidakpuasan atau kekhawatiran dari masyarakat. 

Contoh peristiwa yang menarik adalah rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim (sangat sulit untuk tidak membicarakan Mas Menteri yang satu ini) untuk menghapuskan ujian nasional (UN).

Tetapi kebijakan pertama yang disampaikan oleh Mas Menteri ini (masih rencana lho...) menjadi perdebatan banyak pihak. 

Terjadi silang pendapat. Mengapa ini terjadi? Saya teringat awal Nopember lalu Mas Menteri Pendidikan telah memanggil sekitar 23 organisasi profesi guru dan komunitas guru untuk mendengarkan tawaran solusi atas masalah pendidikan. 

Jumlah yang dipanggil banyak dan bahkan yang selama ini merasa pendapatnya diabaikan oleh pemerintah juga dipanggil saat itu. 

Apakah masalah UN ini patut terkait dengan yang dipanggil Mas Menteri itu? Secara peraturan UN di Indonesia memang tidak ditujukan untuk menguji siswa tetapi untuk menguji kompetensi guru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun