Perceraian pasangan Sherina Munaf dan sang suami Baskara Mahendra beberapa hari ini langsung menjadi sorotan publik. Seperti yang dikutip pada beberapa sumber tanda-tanda Lavender Marriage secara tersirat tampak dalam pernikahan mereka sejak November 2020. Â Istilah Lavender Marriage sebelumnya tidak pernah muncul di permukaan di dalam masyarakat kita. Namun, istilah tersebut ternyata sudah lumayan lama berkembang sebagai gaya hidup pernikahan di negara Barat.
Fenomena lavender marriage atau pernikahan yang dilakukan untuk menutupi orientasi seksual seseorang adalah konsep yang berasal dari budaya Barat, terutama di era Hollywood awal abad ke-20. Pernikahan ini biasanya dilakukan oleh pasangan heteroseksual di depan publik, meskipun salah satu atau kedua pihak memiliki orientasi seksual yang berbeda. Sering kali, pernikahan ini tidak didasarkan pada cinta sejati, melainkan untuk melindungi citra, karier, atau reputasi seseorang di masyarakat. Fenomena ini, yang pada awalnya hanya berkembang di kalangan selebritas atau figur publik, kini dikhawatirkan mulai diadopsi oleh masyarakat modern, termasuk di Indonesia. Namun, jika kita menganalisis lebih dalam, konsep ini bukan hanya tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia, tetapi juga berpotensi menyesatkan moral dan pandangan masyarakat tentang institusi pernikahan.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan nilai-nilai religius dan budaya yang sangat kuat. Pernikahan, dalam perspektif budaya Indonesia, merupakan ikatan sakral antara dua individu yang dilandasi oleh cinta, komitmen, dan tujuan bersama untuk membangun keluarga yang harmonis. Konsep lavender marriage bertolak belakang dengan nilai-nilai ini karena pernikahan tersebut bukanlah tentang komitmen sejati, melainkan sekadar topeng untuk menyembunyikan kenyataan. Jika konsep ini diimpor dan menjadi tren di Indonesia, maka pernikahan akan kehilangan esensinya sebagai fondasi moral dan sosial masyarakat.
Fenomena ini juga dapat memicu berbagai permasalahan sosial. Pertama, lavender marriage mengandung unsur penipuan, baik terhadap pasangan yang terlibat maupun masyarakat luas. Ketika individu memutuskan untuk menikah hanya demi menjaga reputasi atau status sosial, maka kejujuran dan keterbukaan dalam hubungan menjadi korban. Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak kepercayaan dalam institusi pernikahan itu sendiri. Pasangan yang terlibat mungkin menjalani kehidupan penuh tekanan emosional karena harus berpura-pura di depan publik, sementara di balik layar mereka tidak memiliki hubungan yang sejati. Dalam masyarakat yang sangat menghargai ketulusan dalam hubungan seperti di Indonesia, fenomena ini akan dianggap mencederai nilai-nilai dasar pernikahan.
Kedua, jika lavender marriage mulai diterima sebagai sesuatu yang normal, masyarakat akan kehilangan kejelasan tentang tujuan pernikahan itu sendiri. Pernikahan, yang seharusnya menjadi tempat untuk membangun keluarga dan mendidik generasi penerus bangsa, dapat berubah menjadi sekadar formalitas belaka. Anak-anak yang lahir dari pernikahan semacam ini juga dapat menjadi korban, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak harmonis dan penuh kepalsuan. Dalam jangka panjang, hal ini akan berdampak buruk pada perkembangan moral generasi muda, yang menjadi penerus bangsa.
Budaya impor seperti lavender marriage juga mencerminkan degradasi moral dalam masyarakat global. Ketika budaya Barat terus mempengaruhi masyarakat Indonesia melalui media sosial, film, dan musik, penting bagi kita untuk menyaring nilai-nilai yang masuk agar tidak merusak tatanan sosial dan budaya lokal. Indonesia memiliki falsafah hidup yang berakar pada Pancasila, di mana sila pertama menekankan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan dalam konteks ini adalah perjanjian sakral di hadapan Tuhan, bukan sekadar kontrak sosial atau alat untuk mempertahankan citra di masyarakat.
Peran media sosial dalam memaparkan budaya asing juga tidak bisa diabaikan. Media sosial menjadi salah satu saluran utama di mana budaya seperti lavender marriage diperkenalkan, bahkan diromantisasi, kepada masyarakat Indonesia. Melalui platform seperti Instagram, TikTok, atau YouTube, gaya hidup selebritas luar negeri yang menjalani pernikahan seperti ini sering kali dikemas dengan narasi yang menarik perhatian generasi muda. Hal ini membuat konsep tersebut terlihat normal, bahkan aspiratif, di mata mereka. Generasi muda yang terpapar konten semacam ini tanpa pemahaman kritis dapat dengan mudah mengadopsi nilai-nilai asing tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap budaya lokal. Media sosial, dengan kekuatannya menyebarkan informasi secara masif, menjadi alat yang efektif dalam membentuk persepsi masyarakat, termasuk dalam hal budaya pernikahan.
Fenomena ini juga menjadi semakin mengkhawatirkan di kalangan generasi muda Indonesia. Di era globalisasi dan digital, anak muda semakin terpapar pada budaya asing melalui media sosial dan hiburan internasional. Mereka sering kali mengidolakan gaya hidup selebritas luar negeri tanpa menyadari dampak buruknya. Jika lavender marriage dipersepsikan sebagai sesuatu yang normal atau bahkan glamor, generasi muda dapat kehilangan pemahaman tentang pentingnya kejujuran dan integritas dalam hubungan. Ketidakmampuan untuk membedakan nilai-nilai yang positif dan negatif dari budaya luar dapat mengarahkan mereka pada keputusan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Solusi untuk mencegah budaya lavender marriage berkembang di Indonesia adalah dengan memperkuat pendidikan moral dan agama, terutama di kalangan generasi muda. Pendidikan yang menekankan pentingnya nilai-nilai kejujuran, komitmen, dan tanggung jawab dalam pernikahan harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan formal maupun nonformal. Selain itu, media juga harus berperan aktif dalam menyajikan konten yang mendukung nilai-nilai keluarga yang sehat dan harmonis. Alih-alih mengglorifikasi budaya luar yang tidak sesuai dengan norma lokal, media seharusnya mempromosikan kisah-kisah inspiratif tentang pernikahan yang dilandasi oleh cinta sejati dan komitmen.
Pada akhirnya, masyarakat Indonesia harus tetap waspada terhadap fenomena budaya asing yang dapat merusak nilai-nilai lokal. Lavender marriage adalah salah satu contoh bagaimana budaya impor dapat membawa dampak buruk jika diterima begitu saja tanpa penyaringan. Sebagai bangsa yang kaya akan tradisi dan nilai-nilai luhur, Indonesia harus mampu mempertahankan identitasnya di tengah arus globalisasi. Pernikahan bukanlah permainan atau sekadar alat untuk memenuhi ekspektasi sosial. Ia adalah pondasi kehidupan bermasyarakat yang harus dijaga kesuciannya. Dengan menolak konsep seperti lavender marriage, Indonesia dapat menjaga harmoni sosial dan moralitas bangsanya.