Masyarakat kita lagi heboh , berburu koin melalui aplikasi Koin Jagat tiba-tiba jadi tren. Puluhan orang anak-anak, remaja sampai orang dewasa asyik mencari koin di tempat-tempat umum, biasanya di taman-taman kota. Media sosial juga tidak luput sedang ramai dalam beberapa waktu terakhir membahas permainan berburu 'harta karun' bernama Koin Jagat.Permainan ini baru tersedia di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Bali. Koin Jagat merupakan sebuah permainan yang menggunakan aplikasi Jagat sebagai platform utamanya. Permainan ini menyerupai konsep berburu harta karun di dunia nyata.
Seperti yang dilustrasikan dalam aplikasi-aplikasi tersebut, harta karun yang diburu adalah koin dengan tiga jenis, yakni emas, perak dan perunggu. Koin-koin itu harus dikumpulkan sebanyak-banyaknya oleh pengguna aplikasi, karena bisa ditukarkan dengan hadiah uang berkisar dari ratusan ribu hingga puluhan juta. Uniknya menjadi tantangan adalah koin-koin tersebut diletakkan di tempat tersembunyi. Untuk ikut bermain, para pengguna harus meng-install aplikasi Jagat terlebih dahulu dan membuat akun. Kemudian, matikan fitur GPS dalam ponsel. Namun, permainan ini menimbulkan banyak masalah. Banyak warganet yang melapor pemain malah merusak fasilitas umum saat mencari koin-koin tersebut.
Fenomena berburu koin jagat tidak hanya menimbulkan kerugian finansial bagi individu, tetapi juga menciptakan dampak sosial yang meresahkan masyarakat luas. Baru-baru ini, sejumlah kasus yang terjadi di kota besar seperti Bandung, Surabaya, dan Jakarta menunjukkan sisi gelap dari fenomena ini. Para pelaku, yang tergiur dengan janji hadiah besar atau keuntungan dari aplikasi berburu koin, justru merusak fasilitas umum dalam proses pencariannya. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan ketidaktahuan tentang etika sosial, tetapi juga menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum
Namun, di balik itu semua, tersimpan potret yang lebih kompleks dari masyarakat kita. Di satu sisi, fenomena ini mencerminkan minimnya literasi keuangan di kalangan luas, di mana banyak individu tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang cara kerja investasi, risiko finansial, atau teknologi yang mereka ikuti. Mereka mudah tergoda oleh istilah-istilah teknis dan narasi bombastis yang dihembuskan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab, sering kali tanpa memeriksa validitas klaim tersebut. Di sisi lain, ini juga mengungkapkan dorongan kuat untuk segera keluar dari jerat ekonomi yang serba sulit. Banyak orang merasa bahwa waktu tidak berpihak pada mereka, sehingga apa pun yang menawarkan hasil cepat, meskipun terdengar mustahil, tampak lebih realistis dibandingkan jalan panjang menuju keberhasilan melalui kerja keras dan konsistensi.
Tidak dapat disangkal bahwa obsesi terhadap kekayaan instan ini juga didorong oleh dinamika sosial-ekonomi yang memperburuk situasi. Ketimpangan ekonomi yang kian nyata membuat sebagian besar masyarakat merasa bahwa mereka tertinggal jauh dari mereka yang berada di puncak piramida kekayaan. Akibatnya, mereka lebih mudah terjebak dalam skema yang menjanjikan "solusi instan," meskipun kerap berakhir dengan kekecewaan. Dampaknya pun meluas, tidak hanya pada kerugian materi, tetapi juga pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap peluang investasi atau inovasi yang sah. Sering kali, kerugian finansial ini membawa efek domino, menyebabkan tekanan psikologis hingga konflik sosial.
Contoh kasus nyata yang mencuat terjadi di Bandung, Â adalah kerusakan taman kota akibat aktivitas para pemburu koin jagat. Sebuah aplikasi menawarkan hadiah berupa poin digital yang dapat ditukar dengan uang tunai jika pengguna menemukan "koin virtual" yang tersembunyi di berbagai lokasi kota. Salah satu lokasi yang menjadi target adalah Taman Balai Kota Bandung, di mana puluhan orang datang membawa alat seperti tongkat dan sekop untuk "mencari koin." Dalam waktu singkat, area taman yang sebelumnya asri berubah menjadi penuh lubang dan sampah yang ditinggalkan para pencari. Akibatnya, pemerintah kota harus mengeluarkan dana untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan.
Sedangkan kasus yang terjadi di Surabaya lebih konyol lagi, kerusakan fasilitas umum terjadi di kawasan Stasiun Gubeng. Sebuah fitur dalam aplikasi berburu koin mengarahkan pengguna untuk mencari koin di area stasiun. Beberapa pengguna dengan antusias memasuki area terlarang, seperti rel kereta api, demi mendapatkan poin. Mereka bahkan merusak pagar pembatas untuk memasuki lokasi yang dianggap "menyembunyikan koin virtual." Insiden ini tidak hanya merusak fasilitas stasiun, tetapi juga membahayakan keselamatan para pemburu koin. PT KAI Daop 8 Surabaya melaporkan insiden ini dan bekerja sama dengan pihak berwajib untuk menangani pelaku.
Fenomena ini juga menunjukkan sisi lain dari masyarakat kita: budaya ingin cepat kaya yang semakin berkembang. Ketika ketimpangan ekonomi kian nyata, banyak orang merasa frustasi dan mencari jalan pintas untuk keluar dari tekanan finansial. Mereka melihat peluang seperti koin jagat ini sebagai solusi instan untuk mengubah hidup. Sayangnya, pola pikir ini sering kali membawa mereka pada kehancuran finansial. Janji-janji bombastis yang disertai bukti-bukti palsu tentang "kesuksesan" orang lain membuat mereka lupa bahwa tidak ada kekayaan yang datang tanpa usaha dan risiko.
Kedua kasus ini mencerminkan bagaimana fenomena berburu koin jagat yang seharusnya menjadi hiburan digital, justru menjadi ancaman bagi ketertiban umum. Tidak hanya fasilitas umum yang dirusak, tetapi juga norma sosial yang diabaikan. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana teknologi yang seharusnya mempermudah kehidupan manusia malah membawa masalah baru jika tidak diimbangi dengan edukasi yang tepat.
Pemerintah dan pengembang aplikasi memiliki tanggung jawab besar dalam mengatasi masalah ini. Pengembang aplikasi perlu menetapkan aturan yang jelas dan membatasi akses ke lokasi-lokasi sensitif atau area yang berisiko rusak. Di sisi lain, pemerintah harus meningkatkan pengawasan dan memberikan sanksi tegas kepada pihak yang terbukti lalai dalam pengelolaan teknologi seperti ini.