Fenomena 4B di Korea Selatan telah menjadi perbincangan yang menarik perhatian global, di Amerika Serikat gerakan 4B menarik perhatian para wanita. Banyak wanita Amerika Serikat yang mempertimbangkan mengikuti gerakan tersebut. Mereka ingin menyuarakan keinginanya tersebut di platforrm  media sosial X.  Gerakan itu juga banyak dicari di Google. Pencarian  soal 4B mencapai titik tertinggi setelah pemilu AS. Minat gerakan juga melonjak mencapai 45%.
Paparan di atas langsung atau tidak lansung dianggap sebagai tren yang pada akhirnya mengglobal, termasuk di Indonesia. Tren ini muncul di Korea Selatan pada tahun 2018, kata 4B  sendiri  berarti bihon atau tidak menikah, bichulsan (tidak melahirkan) biyeonae (tidak berkencan)  dan bisekseu (tidak berhubungan seks) merupakan gerakan atau inisiatif sukarela bagi perempuan menolak berhubungan  dengan lelaki.
Fenomena ini, akhirnya berkembang  mencakup No Dating (Tidak Berpacaran), No Marriage (Tidak Menikah), No Sex (Tidak Berhubungan Seksual), dan No Childbirth (Tidak Memiliki Anak), konsep-konsep yang sudah dianut oleh beberapa perempuan di Korea Selatan dan beberapa negara lain di belahan dunia, bukan hanya sekadar tren sosial, tetapi juga respons atas dinamika sosial-ekonomi yang semakin menekan generasi muda. Bagi sebagian remaja Indonesia, paparan terhadap fenomena ini menimbulkan refleksi baru tentang pilihan hidup dan cara menghadapi ekspektasi masyarakat yang sering dianggap mengekang.
Latar Belakang Tren 4B di Korea Selatan
Korea Selatan, yang dikenal dengan masyarakat yang sangat dinamis dan cepat beradaptasi dengan perubahan zaman, telah menyaksikan munculnya fenomena yang kini dikenal sebagai tren 4B. Tren ini mencerminkan penolakan atau penundaan terhadap komitmen-komitmen sosial yang sebelumnya dianggap sebagai bagian integral dari kehidupan, yaitu berpacaran, menikah, berhubungan seksual, dan memiliki anak.
Tren 4B muncul sebagai respons terhadap berbagai tekanan sosial, ekonomi, dan budaya yang dihadapi oleh generasi muda Korea Selatan. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap munculnya fenomena ini antara lain adalah:
Biaya Hidup yang Tinggi: Meningkatnya biaya hidup, terutama biaya pendidikan dan perumahan, membuat banyak remaja dan generasi muda memilih untuk menunda pernikahan dan memiliki anak. Selain itu, ketidakpastian ekonomi dan tekanan untuk sukses secara finansial mengurangi minat terhadap komitmen yang dianggap membebani.
Persaingan Karier dan Pendidikan: Pendidikan di Korea Selatan sangat kompetitif, dengan fokus besar pada pencapaian akademik dan kesuksesan karier. Tekanan untuk berhasil dalam dunia kerja, terutama bagi perempuan, sering kali menghalangi mereka untuk memikirkan pernikahan atau memiliki keluarga.
Perubahan Sosial dan Budaya: Di tengah perkembangan pesat dalam teknologi dan akses media, nilai-nilai tradisional Korea Selatan mulai bergeser. Konsep individu yang lebih mandiri dan kurang bergantung pada hubungan keluarga mulai diterima oleh banyak anak muda.
Ketidakpercayaan terhadap Institusi Pernikahan: Banyak remaja dan orang dewasa muda yang melihat pernikahan sebagai lembaga yang kuno dan tidak lagi relevan dalam dunia modern yang penuh ketidakpastian. Selain itu, dengan meningkatnya tingkat perceraian dan masalah sosial lainnya, semakin banyak orang yang enggan melibatkan diri dalam ikatan pernikahan.