Mohon tunggu...
wiwik kurniaty
wiwik kurniaty Mohon Tunggu... Administrasi - mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tetap Bertoleransi dengan Semangat Idul Fitri

23 Juni 2017   06:18 Diperbarui: 23 Juni 2017   08:55 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toleransi - spiritriau.com

Berdasarkan perhitungan 2015, populasi umat muslim sedunia mencapai 1,7 miliar. Jika dipersentase, jumlah ini setara sekitar 23 persen total populasi di dunia. Anda bisa bayangkan, pada Idul Fitri nanti, ada sekitar lebih dari 1,7 miliar umat manusia di dunia yang berkonsentrasi pada momen yang sama. Bukan angka yang kecil jika kita ingin mendorongnya untuk mewujudkan impian, katakanlah, hidup dengan layak dan tanpa rasa takut.

Di Indonesia sendiri, polisi harus menangkap sejumlah orang dan menggeledah sejumlah tempat yang diduga terkait dengan terorisme. Penangkapan ini, ironisnya, dilakukan hanya beberapa hari menjelang Idul Fitri 2017. Media massa menggambarkan seakan-akan bakal ada ancaman teroris di hari raya. “Di Bima, kami temukan bom, kalau bahan bom dan senjata kami amankan di Medan, Jambi, Jateng, Jatim, Sulteng, dan NTB. Kami akan terus kembangkan untuk memberi jaminan keamanan bagi masyarakat agar Ramadhan bisa dilalui dengan aman,” kata Kapolri, Tito Karnavian, 19 Juni silam.

Yang bisa kita lakukan adalah percaya bahwa Idul Fitri adalah masa di mana kekuatan positif dari Islam bisa membuat semua gerakan teror tidak terjadi. Polisi, dalam hal ini, hanyalah instrumen penting yang mewakili negara untuk membuat masyarakat merasa aman. Fakta yang tak bisa kita tolak, dan sayangnya, tidak kita inginkan, adalah ternyata ancaman teror masih ada di sekitar kita. Sedikit pun, kita tidak boleh merasa semua baik-baik saja. Perlu merasa awas, tetapi tidak perlu merasa takut dan menjadi tak percaya diri untuk berdamai dan bersatu mengikuti ruh Idul Fitri.

Namun, jauh dari dalam diri kita, yang fitri haruslah menyala secara alami. Dengan kata lain, kita menghidupi Idul Fitri dengan persaudaraan yang menjadi hakikat perayaan tanpa memandang sinis kepada siapapun, termasuk kepada mereka yang barangkali masih berpikir untuk menjadi radikal dan menyebarkan teror.

Dan memang untuk itulah Al Quran menyuratkan Idul Fitri sebagai penyempurna puasa selama sebulan. Bahwa Idul Fitri telah ditetapkan sebagai momen katarsis atas pengalaman penderitaan yang dijalani secara spiritual dengan berpuasa untuk menjadi manusia yang mencintai kehidupan. “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (hari terakhir Ramadhan) dan kamu mengagungkan Allah (bertakbir raya) atas petunjuk-Nya yang dianugerahkan kepada kamu agar kamu menjadi orang-orang yang bersyukur (QS: Al Baqarah 185).”

Anda tidak bisa menyenandungkan takbir kebahagiaan jika di dalam hati Anda tidak melepaskan diri dalam kegembiraan. Bagaimana Anda bisa berbahagia jika masih ada guncangan teror di sekeliling Anda? Maka, kita harus percaya bahwa atmosfer yang terpancar dari miliaran jiwa manusia yang larut dalam kegembiraan dan suasana memaafkan pada Idul Fitri bisa melimpahi sisi gelap manusia yang tak segan melukai perasaan, melukai tubuh, bahkan membunuh manusia lain atas nama agama.

Tidak. Takbir adalah kebahagiaan. Teror dan radikalisme tidak berdaya jika kita semua membanjiri mereka yang mungkin menciptakan teror dan tak mau melihat perbedaan sebagai kekuatan dengan cinta dan perdamaian sebagai ruh jiwa nan fitri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun