Jelang Pilkada esok hari, banyak tayangan media televisi yang memberikan analisa apa yang akan terjadi pada esok hari. Di satu daerah mana kandidat yang paling kuat dan mana yang lemah dan apa faktor-faktor pendukungnya. Tak kalah dengan media massa, podcast-podcastpun banyak yang memberi ulasan dan analisa-analisa tentang pilkada yang akan kita lakukan.
Dari 37 provinsi dan ratusan kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, yang paling menyedot perhatian adalah Jakarta dan Jawa Tengah. Banyak pengamat yang menyatakan bahwa Pilkada di daerah itu seperti Pilkada tapi berasa Pilpres. Karena bukan saja menarik namun ada ketegangan tersendiri soal persaingan antar calon calonnya.
Hal itu diperkuat dengan  endorsement tokoh penting yang ada di belakang mereka. Ditambah lagi dengan hasil-hasil survei yang menyatakan banyak sekali orang yang disurvei yang belum  mengambil keputusan akan memilih siapa saat pencoblosan nanti. Di satu daerah angka orang yang belum berkeputusan itu cenderung tinggi sehingga dianggap mampu memutar balikan prediksi yang akan terjadi esok hari. Karena menurut pengalaman, hasil survei cenderung tidak jauh berbeda dengan kenyataan di lapamngan.
Belum lagi sering ada keputusan memilih tidak pada gagasan atau program yang dicanangkan, namun sering karena pemilih tercantol,pada gimmick kandidat. Kalau pun ide dan gagasan muncul namun seolah tidak lagi memiliki daya jual kepada masyarakat. Karena masyarakat juga sekarang ini sudah terbuai dengan tokoh dibalik para kandidat Kepala Daerah. Ada fenomena masyarakat enggan berpikir untuk menentukan pilihan, yang penting tokoh panutannya mendukung siapa itulah yang akan dipilihnya.
Keengganan ini sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menggiring masyakat menuju keterbelahan. Menjauhkan satu sama lain atas nama sesuatu. Contoh yang paling nyata adalah saat Pilkada Jakarta. Satu pihak menjatuhkan pihak lain dengan kalimat-kalimat yang tidak santun. Satu pihak menyebarkan hoax dan diamplifikasikan melalui sosial media.
Karena itu dalam Pilkada yang esok kita hadapi bersama, kita mencoba rasional dalam menentukan pilihan kita. Jangan asal menuruti arahan pihak-pihak yang menyukai konflik, tapi tetap memperhatikan ide dan gagasan para kandidat itu. Dan yang tidak kalah penting tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan bukan justru menawarkan politik identitas yang akan merusak demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H