Mohon tunggu...
wiwik kurniaty
wiwik kurniaty Mohon Tunggu... Administrasi - mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Netizen Siaga, Tanpa Narasi Radikal

16 September 2023   13:08 Diperbarui: 16 September 2023   13:12 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun lalu, ada pembelajaran yang cukup baik dari media sosial. Hal itu saat bom Thamrin, dan ada korban, banyak netizen yang melarang netizen lainnya untuk menyebarkan foto tersebut. Begitu juga beberapa waktu kemudian saat ada bom Surabaya dan diikuti bom gereja Katedral di Makassar, kejadian itu juga dilarang untuk disebar oleh netizen.

Apa yang bisa kita tangkap dari hal itu? Yaitu, ada kesadaran dari netizen soal  bahaya terorisme.

Bahwa kita semua harus aware terhadap bahaya terror yang dibuat oleh para pelaku. Dengan menyebarkan ledakan bom dan korban, bisa dikatagorikan sebagai glorifikasi dari tindakan terror. Tidak ada pihak yang nyaman dengan berbagai aksi pengeboman, apalagi dengan korban banyak seperti bom Bali, JW Marriot dll, kecuali sang pelau itu sendiri. Inilah yang dinamakan glorifikasi terror itu.

Dengan teknologi, narasi berbau radikal dengan mudah bisa ditemukan di berbagai media sosial. Apalagi jika menengok pada masa ISIS masih berjaya. Setiap hari, setiap minggu mereka melemparkan berbagai narasi dan meme yang membangkitkan jiwa jihad ke suluruh dunia. Dan kitab isa lihat bahwa banyak orang dari seluruh dunia yang terjebak pada narasi-narasi jihad ISIS. Narasi massif dari ISIS memukau banyak umat di dunia untuk "berjuang" ke Suriah. Para simpatisan itu termasuk dari Indonesia.

Lebih dari satu dekade teknologi dan media sosial masuk ke Indonesia, dengan menunggangi reformasi dan angin demokrasi di Indonesia, isi dari narasi di Indonesia, mengalami perkembangan luar biasa. Sejak reformasi, benih-benih radikal memang sudah masuk dan teknologi me,buatnya luar biasa, termasuk narasi yang memecah belah seperti saat pilpres 2014 dan 2019 dan pilkada Jakarta 2017.

Bagaimana kita menyikapinya jika narasi radikal itu membanjiri kita ?

Tidak hanya cukup pemerintah sendiri atau hanya kebijakan dan program parsial yang dilakukan. Perlu kemauan semua pihak tidak hanya masyakrakat saja yang mendukung gerakan positif di ranah dunia maya, tapi juga pentingnya tokoh, influencer dan elite politik yang mendukungnya. Dengan begitu netizen akan menjaga dari narasi-narasi radikal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun