Mohon tunggu...
wiwik kurniaty
wiwik kurniaty Mohon Tunggu... Administrasi - mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Demokrasi Tak Berarti Bisa Bicara Semaunya

14 Januari 2022   15:15 Diperbarui: 14 Januari 2022   15:22 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Januari belum usai tapi dalam bulan pertama di tahun baru ini kita sudah dihadapkan pada dua kasus ujaran kebencian, yaitu kasus tokoh agama Bahar Smith dan Ferdinand Hutahaen. Dua orang ini dinyatakan sebagai tersangka dan keduanya ditahan meski dengan dua kasus berbeda.

Bahar Smith ditengarai menyebarkan kabar bohong alias hoax yang menyinggung KASAD Jenderal Dudung Abdurrahman dalam ceramahnya pada salah satu masjid di Jawa barat. Ceramah itu mengatakan bahwa kemampuan Dudung sebagai pejabat terbatas karena hanya bisa menurunkan baliho dengan menggunakan alat militer berat (tank). Dia juga tercatat pernah mengatakan kabar bohong atas pejabat negara dan pihak kepolisian.

Kini Bahar sudah diproses oleh pihak berwajib. Sesaat sebelum memasuki ruang pemeriksaan di Polda Jawa Barat, tokoh agama ini sempat berujar : Jika nanti saya ditahan, itu artinya demokrasi di negeri ini telah mati.

Begitu juga dengan kasus Ferdinan Hutahaen. Tokoh politik yang pernah lama di partai Demokrat ini kini ditahan pihak berwenang karena cuitannya di twitter yang berbunyi "Allahmu ternyata lemah" dan "Allahku tidak perlu dibela". 

Kata-kata itu seakan merujuk soal agamaKristen dan Islam. Dilihat dari namanya, Ferdinand Hutahaen adalah pemeluk agama Kristen, meski dalam pengakuannya, dia telah menjadi mualaf sejak tahun 2017.

Meski begitu, banyak orang bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai bahwa apa yang disampaikan oleh FH sangat tidak patut untuk diucapkan oleh agama apapun. Menurut MUI, bahkan agama Islam tidak mengizinkan pemeluknya melecehkan Tuhan. Ini juga dinilai oleh mereka akan menyinggung perasaan seleuruh umat beragama.

Dua kasus di atas, menunjukkan bahwa ujaran kebencian yang terjadi disebabkan karena kurang kehati-hatian menjaga lisan dan jari. Lisan sering diucapkan tokoh islam di rumah ibadah atau saat ada kegiatan agama. Penceramah serinngkali terbawa oleh opini publik yang mungkin mengarah untuk membenci satu pihak dan membela pihak lainnya.

Begitu juga ujaran kebencian yang disebarkan melalui media sosial. Cuitan itu menimbulkan kegaduhan tersendiri sehingga membuat banyak pihak yang merasa gerah dan terhina. Sekadar diketahui bahwa sang pelapor FH adalah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) salah satu ormas penguat Pancasila dan UUD 1945.

Ujaran kebencian yang diucapkan lisan atau melalui media massa sering menimbulkan keterbelahan di masyarakat. Ini sudah bisa kita saksikan akibat ujaran kebencian yang terjadi di ranah politik yang sampai saat ini belum juga selesai.  Karena itu juga jangan mengatasnamakan demokrasi atau kebebasan dan seakan bisa berkata semaunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun