[caption caption="(Foto: Wes Wilson)"][/caption]
Sekian tahun lalu, aku ikut mempanitiai workshop nulis di Semarang yang menghadirkan novelis Gol A Gong, idolaku saat masih ABG dan langganan Majalah HAI. Mas Gong bilang, salah satu syarat yang harus dimiliki penulis fiksi jempolan adalah menguasai kemampuan jurnalistik. Berbekal kemampuan dasar itu, hasil tulisan kita pasti akan terasa kaya dan mendalam.
Aslinya aku sendiri tak tahu itu sampai mendengarnya dari Mas Gong. Dasar kemampuan jurnalistik kupelajari bukan dalam rangka menunjang kemampauan nulis fiksi, melainkan cuman sekadar pantes-pantesnya kuliah saja. Belakangan barulah benar-benar terbukti bahwa dasar kemampuan jurnalistik sangat membantu kita dalam nulis fiksi.
Dalam banyak kasus, para penulis fiksi adalah wartawan juga—atau mantan, sepertiku. Tak heran ada cukup banyak novel romance masa kini yang menampilkan tokoh utama seorang jurnalis, atau berlatarbelakangkan dunia media massa, baik cetak maupun elektronik.
Maka ketika bicara soal manfaat kemampuan jurnalistik dalam skill nulis fiksi, mayoritas pengarang sudah tak lagi mumet. Hal itu sudah mendarah daging secara natural. Nulis fiksi pun tak ubahnya sekadar “kelas advance” bagi dunia kepenulisan jurnalistik yang sudah lebih dulu digeluti.
Namun bagi para penulis baru yang langsung terjun ke dunia fiksi, obrolan tentang topik ini pasti agak terasa abstrak. Kemampuan jurnalistik itu kayak apa? Melatihnya gimana? Dan kalau sudah menguasai, efeknya bagi tulisan fiksi jadi seperti bagaimana?
Cinta Detail
Jurnalis selalu based on facts saat menulis. Maka saat menemui sesuatu, dia akan berusaha untuk tahu betul hal itu. Dimulai dari data diri narasumber, orang yang terlibat dalam peristiwa, hingga keseluruhan peristiwa itu dan latar belakangnya.
Kebiasaan ini akan membuat kita cinta pada detail segala sesuatu, mirip novel-novel Dee atau Dan Brown yang kaya akan detail. Jadi menyusun cerita tak hanya menggambarkan percintaan umum, namun juga masuk mendalam ke aktivitas para tokoh utamanya.