Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Indonesia Butuh Literasi Game

18 Juli 2016   22:16 Diperbarui: 19 Juli 2016   07:07 2561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Munculnya game daring Pokemon Go dengan konsep permainan yang sangat baru dan orisinal segera saja disambut kehebohan di seluruh kalangan masyarakat. Dan sebagian besar di antara kehirukpikukan itu bernuansa negatif. Ini tak mengherankan, karena peristiwa-peristiwa yang tersorot oleh pemberitaan pun rata-rata adalah yang tak mengenakkan untuk dilihat.

Di Amerika Serikat, warga meleng mencari Pokemon dan tak sadar berduyun-duyun mendatangi kantor polisi. Bahkan ketika sesosok Pokemon yang langka melakukan penampakan di Central Park, New York, orang-orang meninggalkan mobil masing-masing dan berebutan mencari Pokemon bersangkutan sehingga menciptakan kekacauan lalu lintas.

Di Indonesia, efek negatif yang disorot—seperti biasa—berkaitan dengan norma. Anak jadi malas, orangtua jadi abai terhadap keluarganya, ibadah terlupakan, dan lain-lain. Bahkan muncul tulisan dari “Dekan Fakultas Psikologi UGM” tentang Pokemon Go(Blok) yang menuduh game tersebut sebagai grand design kelompok rahasia The Bidelberg Group dalam menguasai dunia dan mewujudkan NWO (New World Order). Muncul pula tulisan yang menyatakan bahwa “Pikachu” berarti “I am Jew”!

Bagi masyarakat yang awam video game, setiap kemunculan suatu game jenis baru pasti menimbulkan kegemparan. Tak hanya di sini, melainkan di setiap sudut dunia. Ini terjadi karena permainan video bertumpu pada teknologi yang perkembangannya menyesuaikan inovasi daya kreasi manusia selalu bisa melahirkan revolusi. Hal ini tak dimiliki para counterpart-nya sesama bidang seni dan entertainment.

Kapankah terakhir kali musik memunculkan revolusi? Kita harus balik lagi ke tahun 1955 saat Bill Halley menjadi salah satu perintis kelahiran rock’n roll lewat singel Rock Around the Clock. Sesudah itu hanya ada revolusi kecil ketika Run-D.M.C. dan LL Cool J melahirkan hip hop pada awal dekade 1980-an. Lalu inovasi murni hanya muncul dari pergantian nama superstar satu demi satu.

Di dunia film, revolusi hadir terakhir kali ketika muncul studio Pixar dengan film-film animasi komputer 3D yang realistis, dan menggantikan film animasi klasik 2D. Di dunia perbukuan bahkan sudah ratusan tahun tak ada revolusi sejak mesin cetak diciptakan Guttenberg tahun 1440-an—hanya ada nama superstar bergonta-ganti. Saat ini kita menjelang terjadinya revolusi penting, yaitu migrasi dari print book ke ebook, namun pergerakannya masih agak alot.

Video game, on the other hand, selalu bisa melahirkan revolusi seiring perkembangan berbagai perangkat keras dan lunaknya. Kemunculan game Spacewar ciptaan Steve Russell tahun 1962 direvolusi oleh Nolan Bushnell yang mencipta Pong awal tahun 1970-an. Bushnell kemudian membuat versi ding dong dari Pong dan lahirlah perusahaan besar Atari.

Kehadiran konsol alias komputer mini yang dikhususkan untuk permainan game di rumah, kemudian menghadirkan revolusi tanpa henti. Itu terjadi beruntun sejak kemunculan Magnavox Odyssey, konsol 8-bit dan 16-bit keluaran Sega dan Nintendo, kelahiran game watch (gimbot) yang mungil, hingga momen extraordinary saat Sony merilis PlayStation yang legendaris pada awal dekade 1990-an.

Kelahiran judul demi judul pun merupakan revolusi juga, karena inovasi dan dan hal-hal baru terus muncul seiring waktu, baik karena teknologi komputer grafis maupun karena gameplay-nya. Akhir 1980-an, publik dibuat terkesima oleh game-game berjenis platformer seperti Donkey Kong dan Cobra. Era 1990-an, gamers kaget saat memainkan Mortal Kombat yang kejam dan penuh darah.

Peralihan abad ditandai dengan maraknya judul-judul game yang bisa dimainkan beramai-ramai secara multiplayer (MMOG alias massive multiplayer online games). Kemudian muncul pula game-game berjenis sandbox semacam GTA (Grand Theft Auto), Mafia, atau serial The Elder Scrolls, di mana para pemain dapat menjelajah dunia virtual game sesuka hati (memasuki tiap rumah, meninju setiap orang, mencuri) tanpa harus terikat cerita dan rentetan misi.

Saat ini, revolusi muncul lewat headset Oculus Rift, yang memungkinkan para pemain tenggelam sepenuhnya dalam jagat virtual dan lepas total dari dunia nyata. Belum tuntas itu berlangsung, sudah muncul game yang memanfaatkan pelacak GPS (global positioning system) dan teknologi augmented reality, yaitu Pokemon Go itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun