[caption caption="(Foto: chalkthesun)"][/caption]
Beberapa waktu lalu, aku membaca sebuah novel thriller buatan pengarang Indonesia yang sangat kuyup terpengaruh The Da Vinci Code-nya Dan Brown. Cukup dengan membaca satu kata yang tertera di sinopsis back cover (yaitu “simbolog”), semua rahasia langsung terkuat tanpa perlu membuka bukunya terlebih dahulu.
Dan ketika sudah dibaca, influence itu makin terasa kental. Bahkan semua unsur TDVC muncul tanpa tedeng aling-aling. Ada simbolog Amerika, ada cewek lokal yang smart dan cantik, ada tokoh tua yang terbunuh di awal cerita dan sebelum mati berpose untuk ngasih clue, dan ada pembunuh sadis yang berkeliaran (resensi komplet ada di sini).
Seorang pengarang—siapapun dia—dalam masa hidupnya pasti pernah sebegitu terkesan akan cerita lain. Dan itu dapat saja mendorongnya menulis sesuatu yang sama persis seperti itu. Aku pun demikian. Bahkan dalam kasusku, justru hal itulah yang kali pertama mendorongku untuk menulis fiksi. Dulu aku belajar nulis novel gara-gara terlalu berat terpengaruh novel-novel detektif karya Enid Blyton dan Agatha Christie.
Itu bisa saja dilakukan, tentu saja. Toh nggak ada yang ngawasi aktivitas nulis tiap orang. Masalahnya adalah, ketika itu kita kerjakan, risikonya jelas: rentan kena tuduhan epigon, bahkan plagiator. Padahal seni dihargai karena orisinalitasnya.
Dan Brown, JRR Tolkien, atau JK Rowling berkibar dengan jenis-jenis cerita yang murni baru. Mereka mungkin terpengaruh para pengarang lain, tapi tidak meniru atau mengikuti siapapun. Jadi ketika kita merelakan diri sendiri menjadi epigon, ya kita rela saja duduk di kasta “Football League Two”, dan bukan “Premier League”—permanently.
Yang rumit, momen saat kita terinspirasi berat itu pasti akan terjadi dan bisa menjadi salah satu faktor pendorong paling kuat agar kita (akhirnya mau juga untuk) mulai menulis. Maka harus diambil langkah-langkah jitu tertentu agar kita terhindar dari kemungkinan dituduh sebagai epigon atau bahkan plagiator itu tadi…
Tuntaskan Hasrat
Kadang hasrat nulis yang begitu menggebu sama aja dengan hasrat seksual atau emosi—hanya perlu disalurkan. Tahu sendirilah gimana caranya. Sejak dari menggauli istri/suami, membanting piring, atau menangis tersedu-sedu. Sesudah itu, hati akan plong dan desakan hasrat tadi akan hilang.
Jadi saat muncul gairah menggebu untuk nulis sesudah membaca atau nonton sesuatu yang sangat berkesan, ya tulis aja langsung, jangan ditunda-tunda! Syaratnya cuman satu: jangan dulu diproyeksikan untuk diterbitkan. Kita nulis semata untuk menyalurkan hasrat saja. Sesudah masuk satu-dua bab dan kebosanan mulai muncul, dorongan menggebu itu akan hilang dan kita bisa balik lagi pada proyek asli punya kita sendiri yang sedang kita kerjakan.
Fanfic