[caption caption="(Foto: Ugly Dog Books)"][/caption]Normalnya, kita membaca hanya yang sesuai selera, baik jenis ceritanya maupun pengarangnya. Bagi kita, yang difavoritkan pastilah keren, dan yang tidak ya tidak. Pada gilirannya, kita menentukan bagus tidaknya sebuah buku, terutama fiksi, cukup dari posisinya yang masuk favorit atau tidak.
Kalau dianalogikan ke makanan, yang kita anggap oke ya hanya makanan favorit. Jarang kita menelaah bahwa ada ukuran yang lebih standar dan baku dari makanan selain dalam soal selera kita, yaitu kandungan nutrisi. Maka sebagian dari kita menderita banyak komplikasi kesehatan karena asupan makanan sepenuhnya berbasis selera, dan bukan dari kualitas serta keseimbangan nutrisi.
Hal yang sama juga berlaku dalam cara kita menikmati sastra. Hampir tak terpikir oleh kita bahwa ada ukuran standar karya fiksi seperti nutrisi dalam makanan. Jika itu bisa diketahui, maka kita bisa memiliki kemampuan literasi sastra, alias melek sastra, yaitu tahu mana karya yang ber-“nutrisi” dan mana yang tidak.
Kita pun akan jadi selektif. Hanya membaca yang berkualitas (hingga mencerdaskan dan mencerahkan) dan meninggalkan yang tidak (yang mostly hanya menghibur lewat happy ending). Hidup akan jadi lebih baik seiring peningkatan level bacaan.
Lalu bagaimana cara mengukur sebuah karya fiksi, dalam hal ini novel, dari segi kualitas? Kuncinya ada di lima pilar pembentuk fiksi yang ada lima itu.
Karakterisasi
Kata GK Chesterton ... “A good novel tells us the truth about its hero, but bad novel tells us the truh about its author”. Sebuah novel terasa hidup bila memuat karakter-karakter yang kuat. Bagaimana caranya? Mereka saling berbeda satu sama lain. Masing-masing punya ciri yang khas.
Ciri beda-beda itu membentang sejak dari urusan fisik, watak, suku bangsa, dan latar belakang (pendidikan, pekerjaan, kelas sosial-ekonomi, zodiak, shio, dll.). Lalu, cara berpikir yang menentukan tindakan dan omongannya didasarkan pada semua atribut itu. Maka akan ada beda cara mikir dan bertindak tokoh yang dosen dan pengusaha mi ayam terhadap hal yang sama. Dan ada beda juga dalam cara ngomong (diksinya) guru SMA dengan pengacara kondang meski usianya sebaya.
Novel yang bagus memuat karakter-karakter yang kaya dan variatif, bukan yang semua serba sama—apalagi kalau semua mirip seperti pengarangnya. Contoh: karakter-karakter di Lima Sekawan (Enid Blyton).
Latar
Dalam novel berkualitas, latar tempat dan waktu berbicara banyak di dalam cerita. Ada detail segala tempat, sejak dari provinsi, kota, kampung, jalan, hingga rumah dan ruangan-ruangan. Suasananya sungguh bisa kita rasakan. Nama-nama jelas juga sehingga terbangun realisme. Dan andai lokasi bertempat di luar negeri, ada alasan mengapa cerita ditaruh di sana. Kalau hanya cerita cinta biasa, tentu tak urgen mengapa cerita berlokasi di London atau New York, karena kalau dipindah ke Jember Utara atau Njeminahan, ceritanya masih tetap sama.