[caption caption="(Foto: natureofhumankind)"][/caption]“Mel, aku sayang kamu, udah sejak lama. Mau nggak kamu jadi pacarku?”
Dan aku masih saja senyum-senyum sendiri tiap kali teringat kalimat itu. Sudah berlalu tiga minggu, tapi mengingat kembali cara Rizal mengutarakannya selalu bisa membuat kudukku meremang. Masih terasa baru di memoriku. Selalu terasa baru.
Juga ingatan mengenai betapa sesudah itu aku mengangguk dengan kepala tertunduk malu—lupa bahwa cewek harusnya minta waktu “dua atau tiga hari untuk mikir jawabannya” hanya sekadar agar tak terlihat terlalu murahan.
Namun di depan cowok yang tinggi, putih, dan berangkat sekolah bermobil kinclong seperti Rizal, perasaan jadi dua-tiga langkah lebih maju daripada pertimbangan nalar. Dan aku juga tak peduli akan kaubilang cewek matre atau apa. Yang seperti ini jelas lebih prospektif daripada yang ke mana-mana berdesak-desakan di halte busway, lalu berdesak-desakan pula masuk busnya.
Aku masih ingat juga, adegan saat kali pertama kenalan dengannya. Waktu itu, sekitar tiga bulan lalu, ia menghentikan sedannya di tepi jalan di depan SMA Pertiwi, tak jauh dariku yang sedang berdiri menunggu jemputan Dani. Ia terlihat mencari-cari, lalu menanyakan arah jalan padaku. Dan dimulai dari itu, kami berkenalan. Lalu semua berlanjut. Lalu menjadi romantis seperti sekarang ini.
“Ngapain cengar-cengir sendiri?” lalu suara baritonnya memutus lamnnanku. “Teringat aku ya? Kan aku di sini. Jangan kangen dulu...!”
Kutarik turun kedua ujung bibirku. “Ge-er!”
Dan tawa Rizal meledak saat kemudian cubitanku singgah di lengan kirinya yang tengah memindah gigi mobil.
“Tenang, Ay, nggak usah grogi! Mami aku nggak galak kok. Paling cuman nanya-nanya, which is tinggal kamu jawab apa adanya.”
Aku hendak menyahut, tapi perhatianku keburu teralih pada hal lain. Mobil berguncang-guncang. Kutoleh sekeliling.
“Kok jalannya makin kecil gini? Rumah kamu letaknya di desa pedalaman banget ya?”