Pada format media daring, komersialitas semata-mata hanya bergantung pada komersialitas itu sendiri. Uang akan datang karena satu hal, yaitu popularitas, bukan yang lain. Mirip saja dengan kasus Atta Halilintar atau Ria Ricis. Apa pun kontennya, entah berupa mukbang atau berlagak jadi putri duyung di karpet gedung bioskop, jika publik menggilai, ya terjadilah yang harus terjadi.
Majalah sekolah bisa berevolusi menjadi sebuah media komersial yang sukses meraup rupiah cukup lewat jalur ini saja. Dan para warga milenial jelas lebih tahu bagaimana cara untuk memperoleh satu predikat yang pada masa sekarang ini menjadi satu kata wasiat berpengaruh besar, yaitu jadi viral. Para guru serta mentor yang berasal dari ranah jurnalisme profesional tinggal menjaga koridor saja agar konten yang ada tetap edukatif dan tak bergeser ke area "menghalalkan segala cara".
Karena media massa umum pun sudah bergeser dari cetak ke daring, majalah sekolah dan kampus pun harusnya sudah sejak bertahun-tahun yang lalu melakukan pergeseran serupa. Tentu dapat saja masih dengan tetap mempertahankan format cetak sebagai bagian dari "melestarikan warisan leluhur", menggunakan jadwal edar yang sudah berlaku selama ini, yaitu entah terbit tiga bulanan atau semesteran.
Apalagi dalam era Mendikbud baru yang sangat beraroma milenial, pergerakan segala hal untuk mengantisipasi zaman akan sangat selaras dengan semangat yang ia tularkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H