Salah satu permasalahan terbesar berkaitan dengan media sosial adalah maraknya unggahan bermasalah yang ujung-ujungnya membawa sang pengunggah ke ranah hukum.Â
Biasanya ini terkait pencemaran nama baik, fitnah, penyebaran berita palsu alias hoaks, dan juga perundungan. Lalu, saat sang pengunggah telah masuk jalur hukum, ia hanya bisa menyesal sekaligus mengungkap betapa ia tak mengira unggahannya akan berefek seperti itu.
Pengendalian diri dan pengetahuan luas pun menjadi kata kunci dalam fenomena satu ini. Kita terbiasa menurutkan emosi, sehingga langsung meluapkan apa yang tengah mengganjal di pikiran dan hati.Â
Ditambah begitu masifnya ketidaktahuan, kita pun jadinya hampir tiap detik mempertaruhkan kehidupan nyaman kita di ujung kedua jempol. Ketidaktahuan soal apa? Tak lain adalah soal teknik menulis.
Diakui maupun tidak, ranah medsos adalah bagian dari dunia kepenulisan. Mengapa begitu? Karena aktivitas intinya yang berupa menulis (mengetik) dan membaca adalah aktivitas kerja para penulis profesional.Â
Mereka membaca, lalu tergerak untuk menulis, entah terinspirasi atau memberi komentar. Dan sebelum menulis, para penulis bisa juga membaca dulu untuk memperkaya gagasan dan wawasan. Demikian itu pulalah geliat kita saat bermedsos.
Karena merupakan bagian integral dari jagad kepenulisan, maka hukum-hukum dunia satu ini pun berlaku mengikat di dunia medsos. Jika diikuti, kita akan aman dari segala risiko buruk.Â
Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya -entah sengaja melanggar atau memang tak tahu- ya siap-siap saja untuk kapan saja terciduk dan berurusan dengan pasal-pasal UU ITE yang, meski kerap dipermasalahkan karena vague, tapi tetap saja efektif untuk menjaga semesta agar tidak chaos.
Hukum pertama dunia kepenulisan yang berlaku untuk para penulis dari berbagai percabangan kerjanya adalah bahwa tulisan yang dipublikasikan haruslah bermanfaat bagi orang banyak. Ini berlaku sama sejak dunia tulis-menulis jurnalistik, fiksi, hingga kepenulisan ilmiah.Â
Jika yang diterbitkan hanya bermanfaat bagi sang penulis, publik intelek pun menyebutnya sebagai "onani" gagasan. Atau apalagi kalau tulisan hanya sekadar berfungsi sebagai tumpahan kesumpekan, para pengamat sastra pasti melabeli tulisan bersangkutan sebagai "mirip orang berak"!
Aturan kedua terkait dengan kerapian bahasa tulis. Ini jelas. Barang akan dipajang di depan umum, masa berkualitas ecek-ecek? Kan malu kita sebagai penulis, karena kadar kapasitas dan kualitas kita dinilai berdasar produk yang kita hasilkan.Â