Beberapa waktu lalu, seorang teman mengunggah cerita erotika---ya, sebangsa Fifty Shades of Grey gitu---di sebuah grup penulis di Facebook. Segera saja, dengan cepat ia menerima cukup banyak kritik kejam menjurus hujatan. Berdasar paradigma berpikir relijius, mayoritas kritik menyasar kevulgaran tema cerita dan adegan, apalagi karena kedua pihak yang diceritakan dalam kisah itu sama-sama telah bersuami dan beristri. Nah, pertanyaannya, apakah karya fiksi bisa dihakimi dari segi konten?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita terpaksa harus memperluas wawasan dengan mengamati berbagai karya sastra yang telah ada sejak awal peradaban hingga hari ini. Begitu banyak judul bisa disebut, baik yang pernah kita baca maupun belum. Dan baik yang bersesuaian dengan selera baca kita maupun bukan. Maka kemudian kita akan tahu bahwa jenis karya fiksi, khususnya dalam bentuk cerpen dan novel, adalah sangat beragam.
Tak hanya ada genre romance, drama keluarga, atau novel-novel reliji inspiratif pembasuh jiwa, namun juga yang sangat disturbing. Mulai dari kisah kriminalitas pembunuhan, horor slasher, kisah laga yang disesaki adegan-adegan sadis, hingga ke genre fantasi yang penuh kejutan serta kisah-kisah erotika yang pasti akan mengagetkan para pembaca alim yang berpola kehidupan serba terpimpin.
Kemudian kita juga harus cermati bahwa salah satu aspek yang harus ada dalam sebuah karya fiksi adalah tokoh-tokoh yang mengalami sesuatu. Iya lah, kalau para tokoh tak mengalami apa-apa, lalu ngapain pakai ditulis segala sampai 400 atau 500 halaman? Kan tak ada novel epik 3.000 halaman yang hanya berisi sang tokoh bangun, mandi, salat, sarapan, ngantor, dimarahi atasan, pulang kerja, mandi, nonton TV, bobok, salat malam, lalu besoknya diulangi lagi all over again over and over again!
Peristiwa-peristiwa yang dialami para tokoh haruslah menarik, unik, original, dan mengancam. Semua insiden itu mengubahnya, sehingga ia berkembang sebagai karakter, dan sekaligus membuat pembaca merefleksi diri. Entah kita merasa "Ini gue banget nih!" atau bersimpati sehingga ikut terancam dan berdoa semoga sang tokoh utama selamat serta berhasil mengatasi tantangan yang dialami.
Karena yang terjadi pada para tokoh, especially tokoh utama, haruslah berat dan mengancam, maka tak jarang peristiwa-peristiwa itu berasal dari ranah gelap yang, itu tadi, disturbing. Di-bully, diomeli dengan kata-kata kasar, terlibat narkoba atau perselingkuhan, menerima tindak kekerasan yang sadis, dirampok, diselingkuhi, diperkosa, menerima percobaan pembunuhan, dikudeta, difitnah, dan macam-macam lagi. Semua umumnya dilakukan oleh tokoh antagonis yang merupakan antitesis dari sang tokoh utama.
Agar momen-momen obstacle bagi tokoh utama tersebut dapat hadir elegan secara sastrawi, semua harus dibungkus secara meyakinkan. Caranya gimana? Lewat keterampilan dan kemahiran dalam teknik nulisnya, dengan memaksimalkan logikanya, struktur proseduralnya, dan detailnya, termasuk dalam penggambaran hal-hal gelap yang terjadi pada tokoh utama. Ini penting agar keseluruhan karya menjadi tampak meyakinkan, syukur-syukur bisa dipelajari sebagai tambahan wawasan oleh pembaca.
Karena merupakan bagian integral pembentuk fiksi, maka hal-hal berat (yang menimpa para tokoh) adalah sesuatu yang mutlak ada, yang bisa saja cenderung gelap (vulgar, keji, asusila, dan lain sebagainya). Bahkan bisa dikatakan, tanpa hal-hal yang buram dan gelap itu, maka tak akan ada pula kisah fiksi. Dan karena mutlak ada, maka hal-hal gelap ini pun tak bisa dinilai secara hitam dan putih nan lugu. Mau vulgar, mau sadis, mau keji, mau saru seperti Fifty Shades of Grey-nya EL James, adalah sama saja dengan yang inspiratif, relijius, serta serba tertib.
Terserah saja sejauh mana imajinasi sang penulis meliar. Makin luas wawasannya, makin "kaya" pula jenis-jenis permasalahan yang dihadirkan---yang oleh orang lain kemudian bisa saja dikategorikan mengganggu, tidak relijius, atau bahkan sesat, terutama oleh para pembaca yang tak kaya bahan bacaan---maunya hanya membaca buku-buku yang sesuai selera, atau yang "aman".
Berlandaskan pola pikir demikian, maka kita harus paham bahwa konten sebuah karya sastra adalah tidak bisa diukur dan dihakimi. Masalah atau tema seburuk, senajis, dan seberat apa pun yang ditampilkan dalam karya-karya adalah nirnilai. Ia tidak putih atau hitam, melainkan bening transparan seperti air. Justru kadar kreativitas dan inovasi sang penulis terlihat dari situ. Bahwa pembaca usreg atau nJengat saking kagetnya, itu masalah dia, bukan penulis! Salah sendiri, baca (dan hidup) kok pilih-pilih, maunya serba aman terlindung damai sentausa, sehingga gampang nJenggirat jika bertemu bacaan-bacaan dengan tematik berbeda dari yang biasanya disimak.