Kebanyakan penulis, termasuk yang di fiksi, mengikrarkan kesetiaan yang demikian tinggi pada satu genre tertentu. Entah romance, entah horor-misteri, entah itu fantasi, ia berkeputusan untuk hanya menulis pada genre itu saja.Â
Yang lain tidak. Tak aneh apabila dari sekian deret cerita, dan juga buku, tema yang dipilih tak pernah berubah. Akan sama sejak buku pertama hingga yang keduapuluh tiga.
Pertanyaannya, apakah ini bagus bagi kesehatan kehidupan? Bagi masing-masing dari kita, sudah pasti jawabannya pasti iya. Kita setia pada genre favorit sebagai bagian dari upaya mem-branding diri---bahwa nama (pena) yang kita pakai sudah langsung diidentikkan dengan satu genre tertentu itu.Â
Dan bahwa genre hopping, alias terbiasa pindah-pindah genre, akan membuat karakter kita tidak fokus. Pembaca susah mengasosiasikan kita sebagai penulis terhadap satu genre tertentu.
Namun yang seringkali terlepas dari pemikiran kita adalah bahwa diri ini sesungguhnya menuntut untuk berkembang. Para traveler dan wanderluster selalu berkampanye tentang perlunya memperluas lingkup penjelajahan hidup ("travelinglah selagi muda!", "dolane kurang adoh!", dan lain sebagainya) atau kita akan merugi ketika tua kelak. Jika memang itu motto yang dipegang, maka hal yang sama juga kudu diterapkan dalam skill menulis.
Masa dari tahun ke tahun, sejak kecil hingga gede sekarang ini, lingkup "dolan" kita dalam belantara nulis hanya mungser dari itu ke itu saja? Saat masih berada dalam tahapan pemula, stick to romance genre adalah kenormalan.Â
Semua pasti memulai dari romance, karena semua pasti mengalami suka duka percintaan (dibanding dengan petualangan di dunia gaib, misalnya). Jadi ide-ide termudah akan datang dulu dari ranah romance.
Namun sesudah itu, lingkup penulisan secara genre harus berkembang. Boleh saja kita tetap berada di genre tertentu saat berkaitan dengan soal market dan komersialitas (karena genre itu yang paling laris diburu pembaca), namun secara keterampilan, kita tetap harus berekspansi. Tak saja lintas genre, namun juga lintas format.
Artinya, tak saja hanya sanggup nulis bentuk tulisan fiksi yang paling kita kuasai, melainkan juga meluas ke nonfiksi, dan begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya kita akan sampai pada level ketika menulis itu menjadi keterampilan, bukan lagi mata pencaharian, "panggilan jiwa", atau semata hobi di kala senggang.
Mengapa perluasan dan pendalaman keahlian penting? Karena jika landasan berpikir soal kesetiaan itu adalah masalah pangsa pasar, maka yang dinamakan market itu selalu berubah seiring waktu. Ia seperti tren di dunia fashion, penuh wolak-waliking jaman.Â