Dulu cerita anak pernah meroket awal 1980-an, lalu surut agak lama, dan sekarang mau naik lagi. Siapa bisa menjamin bahwa tren kisah roman metropolitan yang sekarang sedang (dan masih) berjalan akan bertahan terus?
Kesanggupan untuk genre hopping bisa menjadi penyelamat karier---sekali lagi andai pijakan kita adalah soal market. Saat tren genre bergeser, kita bisa ikut bergeser dengan gampang. Jika nama pena sudah terlalu identik dengan genre, paling kita hanya perlu pakai nama berbeda, seperti JK Rowling dengan Robert Galbraith.
Namun tentu, paradigma penulis sejati tak bisa ditaruh pada sisi pangsa pasar. Tidak boleh sama sekali. Menulis selalu lebih megah daripada soal "payu piro?". That's why para penulis best seller selalu dengan inspiratifnya bilang, jangan nulis hanya karena mengejar target best seller! Menulis, apalagi fiksi, adalah soal meninggalkan warisan abadi bagi generasi berikut. Ini soal pengabdian. Dan dalam pengabdian itu, penggalian kemampuan dan sumber daya manusia adalah suatu keharusan.
Maka tuntutan untuk memperluas wilayah (genre) penulisan seharusnya adalah tuntutan naluriah kita pada diri sendiri. Tak beda sewaktu lulus SD ingin lanjut SMP, lalu baru lulus S1 sudah magito-gito ingin ke S2. Kenapa dalam soal nulis, kita jadi (sengaja) untuk berhenti dengan alasan market dan branding?
Keuntungan lain lagi dari genre hopping adalah berkait dengan kemacetan ide, alias writer's block. Kita bisa macet nulis karena banyak sebab (hanya karena jenuh, sakit gigi, hingga dikhianati pasangan).Â
Yang jarang dibahas adalah, kebuntuan itu sesungguhnya hanya terjadi pada satu jenis tulisan tertentu saja. Artinya, saat novel macet di halaman 849, kita sesungguhnya masih bisa nulis format lain.
Saat terbiasa genre hopping, dan bahkan platform hopping, macet nulis bukanlah kiamat. Tinggal pindah nulis genre lain, atau format tulisan lain. Novel romance macet? Hijrah ke fantasi. Fiksi macet? Pindah ke artikel untuk Kompasiana.Â
Bahkan kalau yang macet adalah aktivitas nulisnya itu sendiri, masih bisa pindah jadi content creator di media-media digital.
Namun bahaya terbesar yang mengintai dari praktik monogenre adalah kelelahan mental yang tak disadari. Pikiran lama-lama akan lelah jika hanya "disuruh" memikirkan sejenis ide saja dari waktu ke waktu. Lalu badan salah mengartikannya sebagai kejenuhan dalam menulis.Â
Rasanya seperti bosan nulis karena merasa tak ada kemajuan (20 tahun dan tetap belum ada yang best seller), padahal sebenarnya hanya lelah saja karena tejebak dalam kemonotonan ide.
Ini mungkin tak terlalu sering terjadi, namun untuk mengantisipasi, sesekali kita perlu refresh diri dengan menulis genre yang benar-benar baru dan belum pernah disentuh sebelumnya.Â