Sekian tahun lalu saya pernah menerima undangan author visit dari Semarang International School (SIS), sekolah setingkat SD untuk anak-anak para ekspatriat di Kota Lunpia. Berceloteh dalam bahasa Inggris di hadapan puluhan murid berkewarganegaraan asing termasuk para gurunya adalah sebuah cerita tersendiri. Namun bukan itu yang hendak saya diskusikan di sini, melainkan tentang author visit itu sendiri.
Mendatangi sekolah-sekolah, sejak tingkat SD hingga SMA, untuk memberikan workshop dan training kepenulisan sudah sering saya lakukan. Yang beda dari konsep SIS adalah tipe kunjungannya. Tidak diminta memberikan "kuliah" kepenulisan secara informal, saya hanya direkues untuk menceritakan profesi saya sebagai penulis. Jika dikaitkan dengan konten film-film Hollywood, apa yang saya lakukan mirip dengan kisah-kisah di film itu tentang Career Day, tempat para orangtua murid datang menceritakan pekerjaan masing-masing untuk menginspirasi murid soal cita-cita.
Sudah lazim kita ketahui bahwa 99% anak pasti blank saat ditanya soal cita-cita. Jelas tak bisa jawab, karena dunia kerja dan profesi masa dewasa memang masih sangat tak terbayang. Andaipun bisa jawab, yang muncul tak akan beranjak banyak dari zaman saya jadi anak puluhan tahun lalu: dokter, insinyur, tentara, presiden, dan lain-lain. Padahal pada masa kini, dan mengantisipasi masa depan, akan ada cukup banyak profesi "asing" yang tak kalah bersinar, seperti pebisnis daring, pakar coding, pemain video games profesional, atau pengisi suara audiobook.
Bagaimana cara menyuntikkan informasi mengenai sebanyak mungkin pilihan profesi masa depan mereka? Konsep acara seperti yang mengundang saya itu bisa dijadikan acuan, khususnya di sekolah-sekolah negeri. Para orangtua---dan terutama para praktisi kenamaan---diundang ke sekolah bukan untuk menjadi narasumber pelatihan, namun untuk bercerita saja mengenai profesi masing-masing. Janji manis apa saja yang ada di sana, bagaimana cara meraihnya, kemampuan dasar apa yang diperlukan, dan lain-lain.
Dalam hal profesi saya sebagai penulis, acara semacam author visit harus diberi penekanan khusus mengingat betapa pentingnya literasi bagi peserta didik sekolah formal. Remaja ABG dan orang dewasa sudah sangat kental memegang "primordialisme" selera (kalau bukan yang disukai ya ogah menyimak atau menekuni), namun anak-anak masih sangat bisa dibentuk dan diarahkan.
Sekalipun awalnya tak terbayang atau bahkan emoh menjadi penulis, kemunculan inspirasi baru sangat bisa memberi pencerahan. Setidaknya, pembangkitan mereka menuju minat baca adalah tujuan paling minimal kegiatan semacam ini. Meski tak ada cita-cita atau passion menulis, mereka tetap tumbuh besar dengan membawa kebiasaan membaca (buku-buku tebal, dan bukan hanya status medsos atau apalagi hanya "membaca" video-video pendek di YouTube!).
Tentu saja nanti akan juga ada athlete visit dengan menghadirkan pemain bola idola anak-anak, star visit (bersama bintang film atau penyanyi idola), atau bahkan leader visit (bupati atau walikota atau gubernur atau presiden), dan Career Day itu tadi pada umumnya---menghadirkan para orangtua murid sendiri. Tinggal dicari istilah-istilah Bahasa Indonesianya. Semakin banyak inspirasi tentu akan semakin bagus. Memasuki jenjang sekolah menengah (SMP), satu individu anak sudah akan mantap memilih karier sehingga tahu nyari ilmunya ke mana saja.
Kegiatan-kegiatan semacam ini sebenarnya bisa dijadwalkan rutin oleh sekolah sendiri, misal tiap dua bulanan atau bahkan bulanan. Bisa diserahkan ke tiap penggerak ekskul, dan nanti sekolah yang akan merealisasikannya dengan para narasumber terkait. Honor bisa diatur. Kadang bahkan ada banyak praktisi profesi berstandar pakar yang tak ambil pusing soal honor sejauh pihak pengundang adalah sekolah. Gerakan Kelas Inspirasi pun tak menawarkan fee, namun selalu dipadati relawan tiap kali digelar.
Niat dari para praktisi itu sendiri untuk jemput bola mendatangi sekolah-sekolah juga selalu ada. Hanya saja seringkali terhambat prosedur birokrasi yang terlalu njelimet---untuk ukuran urusan-urusan yang di level swasta bisa diselesaikan cukup bermodal chatting WhatsApp (berkas dokumen, jika ada, bisa dikirim lewat situ juga).
Suatu saat rekan saya yang seorang guru SMA pernah di-approach sastrawan yang disponsori seorang filantropis untuk menggelar acara sastra di sekolah. Sang guru menawari rekan-rekannya dari sekolah lain. Mereka berminat, namun pihak penggelar acara diminta mengajukan surat permohonan dilampiri dokumen ini-itu ke dinas, kepala sekolah, dan entah meja instansi mana lagi sehingga memikirkan kelengkapan dokumennya saja sudah cukup membuat vertigo kumat!
Akhirnya teman saya itu memutuskan langsung menggelar acara bersangkutan di sekolah tempatnya mengajar. Tanpa banyak kerumitan, ia langsung menentukan hari baik, menyiapkan ruang kelas beserta kelengkapannya, dan memanggil murid-muridnya sendiri sebagai peserta. Dan hasilnya adalah sebuah workshop cerpen dengan output berupa buku antologi cerpen berisi 15 cerpen terpilih para siswa yang terbit secara independen ber-ISBN dan diluncurkan dalam acara yang diliput media-media lokal.