Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Aturan Absurd Gambar Blur

13 Oktober 2016   20:46 Diperbarui: 14 Oktober 2016   15:16 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka yang sudah sering melihat lawan jenis (suami/istri) tanpa busana, mereka yang asyik merokok (atau mati-matian melawan rokok), mereka yang pasti pernah melihat hal mengerikan (misal ikut nolong korban tabrakan), mereka yang pasti sudah sering melihat atau bahkan mengoperasikan senjata (baik tajam maupun api), apakah masih perlu juga ikut dilindungi dari 'hal-hal berbahaya' itu di layar TV?

Seriously? Sebab bukankah mereka (baca: kita semua yang berusia di atas 18) sudah bergulat dan menemui 'hal-hal berbahaya' itu sepuluh kali lipat lebih sering di dunia nyata daripada apa yang dapat dilihat di layar kaca? Arti gambar yang dikaburkan bagi mereka adalah sama dengan segerombolan preman pasar yang dinasihati, "Jangan berkelahi ya, Nak? Jangan saling menyakiti sesama!”. Pointless.

Dan yang kedua, ini sudah zaman modern. Koneksi internet berkecepatan tinggi sudah bukan barang aneh, yang memungkinkan kita semua untuk dengan mudah menyaksikan tayangan secara streaming via internet. Tak ada gunanya gambar diblur, karena tepat 30 atau 45 detik sesudah tayangan berakhir, kita semua bisa mencarinya di Google dan menyaksikannya ulang—versi yang original utuh tanpa 'gangguan' dalam bentuk apa pun.

Maka pertanyaan besarnya sekali lagi adalah, mengapa harus susah-susah disensor dan diblur, kecuali hanya sekadar formalitas biar masih nampak sebagai bangsa alim? Dulu pada era pra-internet, sensor masih berfungsi maksimal. Kita tak punya sumber tontonan lain kecuali gedung bioskop dan televisi. Sumber alternatif ada, semisal video atau DVD yang tanpa sensor, namun baru bisa didapat dengan usaha keras—harus datang ke lapak untuk beli.

Sekarang ini, sensor jadi mulai terasa lucu dan ganjil, karena cukup lewat ponsel dan sambil ndlosor di rumah, apa yang barusan diblur bisa dilihat dengan jelas. Malah sensor dan gambar blur jadi ngasih tahu, pada menit dan detik keberapa kita harus melakukan pencarian pada versi unggahannya di YouTube!

Maka solusinya tak ada jalan lain ya dengan menghapus total aturan ini. Bukan dengan tujuan untuk membiarkan tayangan-tayangan vulgar berkeliaran bebas, melainkan dengan pengaturan mengenai pencegahan. Tayangan-tayangan yang berpotensi disensor atau dikaburkan sekalian saja tidak usah dihadirkan di layar TV free-to-air.

Dan menandainya pun cukup mudah, karena elemen-elemen rentan sensor itu pasti terkandung dalam produk-produk hiburan dari Amerika Serikat dan Eropa, yaitu yang berjenis nudity dan seks. Bisa berupa film, serial TV, reality show, atau kontes bakat seperti Idol dan The Voice. Alihkan saja tayangan-tayangan jenis ini ke kanal-kanal di dalam jaringan TV berlangganan semacam Indovision atau K Vision.

Ini juga sekaligus untuk mendorong stasiun-stasiun TV gratisan memperbanyak tayangan yang merupakan produksi sendiri. Bila itu produksi sendiri, pihak stasiun TV dan PH bersangkutan tentu sudah bisa mengatur sejak awal untuk tidak perlu mengambil gambar hal-hal yang selam ini diblur, seperti rokok, puting pria bertelanjang dada, wanita dengan bahu terbuka, atau payudara patung.

Namun sesungguhnya, layakkah hal-hal itu dikaburkan? Soal rokok, blur hanya 'pernyataan politik', bukan dalam konteks untuk melindungi warga dari rokok, wong warga sendiri asyik klepas-klepus saban menit. Soal senjata, puting pria, dan payudara robot, blur jadi absurd dan merupakan bentuk penghinaan intelektual yang amat keji. Lama-lama mangkuk tengkurep juga diblur!

Dan mengenai luka-luka mengerikan di film, bukankah anak PAUD juga tahu bahwa itu hanyalah rekayasa hasil kreasi juru rias kru syuting film? Masa harus dikasih teks penjelasan: 'LUKA-LUKA YANG DIDERITA BRUCE WILLIS DI FILM DIE HARD INI HANYALAH REKAYASA!' seperti di acara dagelan Raffi Ahmad dan Adul?

Namun sesungguhnya, apalah perlunya sensor bagi tayangan-tayangan dewasa? Yang nonton sudah pada gede, punya kemampuan filter sendiri. Sekali lagi, sensor pun hanyalah sekadar statement bahwa 'kita ini alim lhooo...'. Tak lebih dari semata label, bukannya alat yang sungguh dapat membuat suatu perbedaan.

Dan kita memanglah bangsa yang ahli dalam masalah label serta atribut. Selalu saja hanya dua hal itu yang diributkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun