Perubahan paradigma berpikir harus dimulai dari ungkapan kuno “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan”. Sama seperti mangkraknya kualitas sinetron Indonesia yang lebih ditentukan faktor kemauan, bukan standar pencapaian teknis para kreator. Ini juga bisa didiskusikan terkait program acara televisi berkaitan dengan buku.
Lewat berbagai metoda dunia hiburan layar gelas yang telah terbukti ampuh, buku (sebagaimana olah raga dan politik) bisa langsung dimasukkan tanpa hambatan apa pun. Katakanlah diawali dengan program talk show penuh gelak tawa dipandu host jempolan sekelas Sule & Andre atau Tukul Arwana, namun mengkhususkan diri pada buku, sastra, dan geliat kreatif para penulis.
Maka cara mengundang bintang tamu, cara membahas topik sesuai tema, dan cara menanyai narasumber ya akan sama saja dengan bila yang diundang adalah selebritas dunia hiburan. Memangnya kalau acara buku harus juga diformat secara kaku dan oleh host kutu buku yang juga membosankan dan berkacamata tebal?
Kuncinya adalah dengan menjadikan buku dan sastra sebagai bagian dari gemerlap industri hiburan. Toh banyak tokohnya berdiri pada dua dunia sekaligus. Dewi Lestari atau Raditya Dika misalnya. Dan penulis yang demikian ingar bingar dalam hal popularitas seperti Andrea Hirata juga telah disejajarkan dengan para selebritas entertainment. Di pihak lain, beberapa pegiat keartisan seperti Tamara Geraldine atau Happy Salma belakangan juga ikut menulis buku.
Dimulai dari sosok-sosok gemerlap semacam ini, ketertarikan pemirsa bisa dikondisikan hingga tamu yang dihadirkan tiba pada nama-nama yang lebih mainstream sastra seperti Seno Gumira Ajidharma, Ayu Utami, AS Laksana, atau Ilana Tan, Ika Natassa, dan Winna Effendi dari ranah sastra populer. Dan karena sepanjang waktu terus akan ada film-film yang diangkat dari buku, content acara yang berkaitan dengan jagad showbiz dapat terus dipertahankan.
Di sela obrolan yang mengundang gelak tawa, dapat disisipkan segmen-segmen yang lebih bersifat intelektual. Misal mengundang pengamat atau dosen sastra sebagai narasumber tetap untuk meresensi buku dan mendiskusikan tema-tema penting soal dunia perbukuan, juga segmen berita-berita terbaru seputar buku dan para penulis. Bahkan bila perlu, ada segmen ala infotainment berisi gosip-gosip para penulis populer.
Dalam hal kanal televisi berita seperti Kompas TV, Metro TV, atau tvOne, dunia perbukuan bisa menjadi salah satu topik berita yang ditempatkan sebagai programa-programa pendukung di belakang acara-acara headline dan update berita. Selain ada mata acara berita khusus olah raga, dunia showbiz, atau gaya hidup, dapat ditambahkan pula siaran berita berdurasi singkat (15 atau 30 menit) khusus mengenai buku.
Dan andai kekhawatiran utama mengenai potensi ketidaklakuan adalah soal rating, maka ini bisa diawali dari kanal-kanal TV lokal yang bersiaran melalui jaringan TV satelit berbayar, yang ukuran komersialnya tak diukur dari apa kata ACNielsen. Bahkan pengelola jaringan TV berlangganan semacam K Vision, First Media, Indovision, atau Telkomvision seharusnya sudah melahirkan kanal TV khusus yang berkenaan soal buku, karena kanal TV mengenai otomotif, olah raga, ceramah agama, atau kuliner sudah ada sejak lama.
Pada intinya, pokok permasalahan di sini ada pada pola berpikir berbasis pada kemauan, dan pencarian jalan. Bukan semata “menunggu apa yang sedang cemerlang dan ikutan nyemplung di situ”. Orang seperti Rudi Soedjarwo tak akan menjadi tokoh penting bagi dunia perfilman Indonesia jika berkarakter demikian. Alih-alih merisikokan segalanya untuk merilis Ada Apa dengan Cinta? yang mendobrak 14 tahun lalu, ia pastinya akan lebih aman membuat sinetron telenovela saja seperti yang lainnya.
Dan di dunia pertelevisian Indonesia, sosok semacam itu baru ada pada diri Wishnutama di NET., tapi masa ya semua inovasi hanya datang dari sana? Ke mana RCTI, SCTV, Indosiar, MNCTV, duo Trans, dan ANTV...?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H