Dalam banyak diskusi mengenai kepenulisan, terutama fiksi, writer’s block selalu menjadi topik pembahasan utama, di samping tentang mood. Sebagian penulis memaparkan definisi writer’s block beserta kiat-kiat penanganannya. Sedang sebagian lagi menganggap bahwa writer’s block hanyalah excuse dari para penulis malas. Ada pula yang menyatakan bahwa penulis profesional tak mengenal istilah itu. Dia akan terus menulis dan menulis.
Kedua kubu memiliki alasan dan argumen masing-masing. Kubu pro mengungkap bahwa memang kadang ide suka macet. Dan jika itu terjadi, maka harus ada tindakan nyata untuk mengurainya.
Sebaliknya, kubu kontra berargumen bahwa jika writer’s block diakui memang betul-betul eksis, itu bisa menghambat karier seorang penulis. Dari macet dikit, lama-lama bisa macet parah, lalu total berhenti menulis. Karenanya, keberadaannya tak perlu diakui sekalian agar tak terdidik untuk jadi pemalas—dikit-dikit macet, dikit-dikit macet, macet kok cuman dikit...
Aku sendiri aslinya termasuk golongan pro, karena macet ide rajin terjadi secara rutin. Plus aku juga nggak suka nulis fiksi dikejar target (lain soal kalau lagi ada orderan nulis buku nonfiksi). Aku pernah macet ide satu novel dalam hitungan tahun, seperti kisah cerita silat Elang Menoreh yang saat ini sedang kuunggah di Wattpad. Cerita itu mulai kutulis tahun 2010, dan sampai sekarang belum tamat.
Meski demikian, aku juga mengakui argumen kaum kontra. Jika ditolerir, terutama oleh para penulis baru, writer’s block memang berpotensi mengancam karier. Awalnya dari macet, lama-lama bisa berubah jadi malas (tapi yang tersamarkan menjadi kemacetan). Jika ini berkelanjutan, siapapun pasti akan kehilangan alokasi energi dan waktu begitu sudah disibukkan oleh dunia yang lebih “penting”—sekolah, kuliah, dan pekerjaan, misalnya.
Lalu tak sempat lagi menulis. Lalu waktu berlalu. Tahu-tahu empat dekade sudah terlewat, anak-anak sudah nikah, cucu-cucu sudah lahir, jempol digigit asam urat, dan dunia tak berkesempatan untuk menikmati tulisan kita yang bisa saja spektakuler dan mengubah sejarah.
Maka cara terbaik adalah memperlakukan writer’s block sekadar sebagai istilah teknis, bagi yang hobi mengulas sastra secara ilmiah. Sama seperti author’s surrogate, red herring, flashforwarding, information dumping, atau self-fulfilled prophecy—yang seringkali sudah sering kita kerjakan dan baru belakangan tahu nama-nama resminya.
Saat writer’s block sudah dimasukkan kotak murni sebagai istilah, kita pun tinggal menjalankan profesi penulis dalam konteks hidup kita keseharian sebagai manusia normal. Kemudian kita tanyakan pada diri masing-masing, baik sebagai makhluk biologis maupun makhluk sosial, mungkinkah kita sanggup menulis 24 jam nonstop selama 7 hari dalam sepekan selama 12 bulan full lalu diulang lagi seperti itu tahun 2017 mendatang?
Berani taruhan, hanya kodok mabok yang akan menjawab “mungkiiin!”. Itu sebabnya kita tidak boleh memegang kata-katanya.
Sebagai makhluk biologis, jelaslah itu tak mungkin terjadi. Penulis yang seprofesional atau seheroik atau se-bestseller apa pun tetap butuh bobok, butuh BAB, butuh ngaso sebentar kalau pas badan lagi sakit, apalagi kalau sakitnya agak parah seperti asam lambung kumat. Baru meriang atau sakit gigi saja pasti ide sudah buyar ke mana-mana. Pasti mau tak mau harus jeda. Beda jika yang dikerjakan adalah tulisan nonfiksi atau jurnalistik yang dikejar tenggat.
Dan sebagai makhluk sosial, penulis tetap harus berinteraksi dengan banyak ranah untuk merampungkan aneka macam urusan urgen keseharian. Bayar listrik, belanja bulanan, berdebat dengan teman soal presiden, bertengkar sama pasangan, dikejar-kejar debt collector, dan hal-hal berbagai jenis yang membuat kita suka atau tidak terpaksa harus meninggalkan laptop untuk sementara waktu.