Tiap penulis tak hanya sibuk ngetik bagi dirinya sendiri, namun juga membina komunitas untuk menebar ilmu dan inspirasi. Mempromo dan memanggungkan tak hanya buku-bukunya sendri namun juga buku-buku rekan khususnya yang lebih junior. Buku-buku bacaan tak hanya dikoleksi sendiri lalu difoto buat kepentingan Instagram untuk di-like 2.000 orang, namun juga dibuka agar bisa dibaca warga masyarakat luas.
Jika itu semua bisa dikerjakan secara masif, terstruktur, dan sistematis, dengan dinaungi asosiasi lewat berbagai asistensi dan pembentukan jaringan yang bersifat nasional, pasti dalam beberapa tahun ke depan, hasilnya sudah akan terlihat. Bakal makin banyak yang mengabiskan waktunya dengan buku-buku, tak peduli apa pun profesinya. Dan makin banyak yang ingin jadi penulis, karena ada janji-janji ketenaran sekaligus kesejahteraan tak ubahnya seleb dunia hiburan.
Bagiku sendiri, mimpi terbesar keberadaan asosiasi penulis adalah untuk melahirkan dua hal. Pertama, award bagi dunia buku setara FFI dan IMA untuk musik atau AMI untuk musik namun yang melibatkan semua jenis buku, fiksi maupun non-fiksi. Selama ini hadiah-hadiah literari seperti Sayembara Novel DKJ atau Khatulistiwa Literary Award masih hanya diperuntukkan bagi sastra elit.
Sastra pop semacam teenlit, metropop, atau YA (young adult), serta buku non-fiksi terabaikan. Genre sastra pop bahkan belum terpikir soal ini, padahal keberadaan award yang mengacu pada ranah entertainment barat sesungguhnya amat klop dengan nuansa metropolis urban yang diusungnya, dengan kategori semacam Book of the Year, Best Female Author, Best New Author, lalu Lifetime Achievement Award untuk para legenda.
Mungkin nanti bisa digelar semacam Indonesia Book Award, atau Anugerah Buku Indonesia, memperebutkan Piala Pram (untuk menghormati Pramoedya Ananta Toer). Di dalamnya diberikan penghargaan untuk buku-buku fiksi (sastra elit dan sastra pop), buku-buku non-fiksi, serta penghargaan individual bagi para penulis & pengarang. Pasti oke punya.
Mimpi kedua adalah pembentukan laman database pengarang dan buku Indonesia yang sekomplet IMDb (Internet Movie Database) untuk dunia sinema. Ada entri yang memuat siapapun yang sudah nerbitin buku, tak peduli sudah sekaliber NH Dini atau Tere Liye maupun yang baru nerbitin satu buku lewat jalur indie dan hanya dicetak 25 eksemplar. Tentu komplet juga dengan data tiap buku yang sudah ada.
Pengarsipan seperti ini sudah tentu penting sebagai tolok ukur majunya sebuah peradaban—yang mana Indonesia bisa dibilang masih sangat tertinggal. Kita sering dengar betapa selama ini dokumen-dokumen dan manuskrip-manuskrip penting justru tersimpan rapi di Leiden, bukan di sini. Why? Mostly because kita sendiri memang tak terlalu peduli dengan hal-hal begini.
Meski semua rencana kerja dan mimpi-mimpi itu masih jauh dari terwujud, yang penting langkah awal sudah dimulai. Yang ingin bergabung untuk menyatukan gagasan serta kerja bagi kemajuan dunia perbukuan di Indonesia tentulah sangat diterima dengan tangan terbuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H