[caption caption="Aulia A. Muhammad dan aku membuat dua audiens ABG terpesona (foto: Asrida Ulinnuha)"][/caption]
Normalnya, sebuah acara peluncuran atau bedah buku berisi kupasan mendalam tentang pencapaian teknis buku, dan juga proses kreatif penulisannya. Namun sekali ini Rumah Media menampilkan sesuatu yang berbeda dan jarang dimunculkan, yaitu bedah buku dalam sisi tema cerita sekaligus pesan moralnya. Dalam hal ini, bukunya adalah novel terbaruku, Remember December.
Itulah yang kemudian betul-betul terasa dalam “diskusi spiritual” bertajuk “How to Move on?” di Tekodeko Koffiehuis, Kota Lama, Semarang, hari Sabtu 27 Februari 2016 kemarin. Aku sebagai pengarang novel hanya sekelumit menjelaskan latar belakang penulisan Remember December, sedang porsi terbesar ada pada Aulia A. Muhammad yang memaparkan soal cinta, kepedihan, dan keberanian untuk hijrah alias move on.
Acara sendiri dimulai pukul 13.30 WIB, dipandu Asrida Ulinnuha sebagai host dan bertempat di lantai atas Tekodeko yang saat itu tengah dipakai acara oleh sekelompok mahasiswa. Diskusi langsung mulai di situ juga, sehingga pada awal acara, peserta seakan-akan membludak karena ketambahan para mahasiswa itu, yang sempat mendengar ceritaku soal penggarapan Remember December yang makan waktu 10 tahun.
Sesudah mereka bertolak untuk latihan menari di Sobokartti, barulah audiens bedah buku tampak keasliannya, yaitu sekitar 30 orang. Berbagai kalangan hadir, terutama rekan-rekan penulis dan para peserta kelas menulis Rumah Media (acara ini sekaligus adalah salah satu sesi kelas menulis yang memang digelar tiap Sabtu sore). Bahkan budayawan Handry TM pun hadir untuk mengambil foto-foto.
Sesudah aku sedikit bercerita, tiba giliran Aulia memaparkan pandangannya tentang move on, yang memang menjadi inti cerita Remember December. Ia menyebut empat tokoh utama dalam novel itu, yaitu Reva, Dei, Salsa, dan Dani, adalah orang-orang yang gagal berangkat dari kisah masa lalu mereka. Menurut pendapatnya, memang sulit menyatakan cinta pada yang sesungguhnya tak kita cintai, namun jauh lebih sulit tidak mengatakan cinta pada yang sungguh kita cintai.
Memang persis seperti itu pesan moral yang kutuang lewat Remember December. Reva mencintai Dei sejak lama, tapi Dei sudah akan bertunangan dengan Dani. Lalu ia terpaksa menerima ketika dicomblangkan Dei dangan Salsa, kakak sepupu gadis itu. Namun kemudian terungkap, baik Dei, Salsa, maupun Dani pun ternyata sama-sama punya rahasia masa lalu yang hingga kini belum juga bisa ditinggal.
Mereka akhirnya memang jadian di akhir cerita dengan pasangan masing-masing. Hanya saja, beda dari cerita-cerita romance lainnya, momen jadian keempatnya bukanlah sesuatu yang menyelesaikan semua masalah dan happily ever after, melainkan bisa saja justru menjadi awal masalah lain yang lebih besar, terutama saat mereka sudah melewati gerbang pernikahan.
Selama ini, kultur kita menganggap, jadian (dan kemudian pernikahan) adalah end to all problems, dan awal dari hidup baru yang setingkat lebih tinggi. Masalah jelas akan menghadang, karena menyatukan dua hati dan dua kepala pasti tak mudah. Namun yang jarang terpikir adalah, problem gede yang mengintai dari tempat tak terlihat, yaitu gumpalan pekat dari masa lalu.
Saat jadian, kedua belah pihak berada pada fase euforia yang tak terperi, dan tak ada hal lain yang lebih penting daripada keduanya. Namun ketika perasaan roman yang berbuih-buih memudar, ketika friksi mulai muncul, dan saat dibenturkan pada realita yang tak semanis impian masa remaja mengenai “growing old with you”, kita bisa saja terperosok ke sumur tanpa dasar ketika takdir kembali mempertemukan kita dengan satu nama tak terlupakan dari masa lalu itu.
Dan sebagian dari kita sukses terperosok karena tak menyiapkan skenario antisipasi terhadap situasi semacam ini. Maka yang terpenting adalah, seperti kata Aulia, bahwa luka itu mendewasakan. Dan menjadi dewasa berarti berdamai dengan diri sendiri—menggenggam erat masa lalu, menerimanya, justru agar kita tahu bahwa itu tak akan pernah merecoki masa sekarang.