Mohon tunggu...
Widyowati Kinasih
Widyowati Kinasih Mohon Tunggu... -

Mengajar di sebuah SD Negeri, aktif dalam kegiatan penulisan kreatif dalam beberapa grup menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Untukmu Ibu) Bidadari Hati Tak Terganti

22 Desember 2013   08:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

423. Widyowati Kinasih

Kobaran api di tungku mulai menyala. Jilatan merahnya menggerogoti ranting-ranting kering yang sedari tadi teronggok di sana. Kugeser sedikit tubuh mendekatinya. Subuh di tempatku, sungguh mampu membuat tulang belulang ngilu.

Air yang kujerang sudah berontak menyundul-nyundul tutup cerek yang legam jelaga. Segera kuseduh teh manis. Cangkir-cangkir itu seperti sudah hafal rutinitas pagiku. Mereka seperti tak hendak menolak setiap kali kutuangkan air panas ke dalamnya. Semua demi nyonya. Mungkin begitu batinnya.

Ya. Setiap pagi, aku sudah duduk terpekur di dapur. Meracik sarapan ala kadar yang aku bisa. Sedang ibu, sudah siap berangkat ke kantor afdelling—istilah Belanda untuk kantor bagian--  kebun untuk mengabsen kuli-kuli petik yang menjadi tanggung jawabnya. Pukul enam pagi, kala ku bersiap mandi, ibu kembali untuk menikmati sarapan pagi. Tak ada uang saku untukku.

“Makanlah yang banyak, Nduk. Jika perutmu kenyang, belajarmu akan lebih mudah. Makanan warung juga ndak akan mampu menggoda.”

Kalimat-kalimat ibu, seolah menjadi sarapan wajibku setiap pagi. Jujur, aku merasa dongkol dan sakit hati. Kenapa nasibku bisa sesial ini? Memiliki ibu yang tak pernah peduli.Ibu adalah manusia paling pelit sedunia. Mungkin tuduhanku pada ibu terlalu berlebihan. Tapi memang seperti itulah kenyataannya.

Setiap awal bulan, ibu selalu gajian. Sama seperti orangtua teman-temanku di sekolah. Hanya bedanya, lembar-lembar kertas rupiah tergenggam di tangan teman-teman. Sedang aku, cukup menelan ludah memandangi mereka makan roti dan gula-gula. Hanya buku-buku di perpustakaanlah yang akhirnya menjadi sahabat setia.

“Belajarlah yang rajin. Ibu akan menyekolahkanmu tinggi jika kamu pandai. Jangan seperti ibu yang hanya berhenti sekolah dasar karena tak ada uang untuk biaya.”

Kalimat itu adalah kudapan sore hari yang kudapat dari ibu, selain bakwan goreng yang ia bawa setiap pulang kerja. Bosan. Setiap sore hanya bisa makan bakwan goreng. Sedang hampir semua temanku, sudah pernah merasakan lezatnya kue-kue kemasan yang dijual di warung sekolah pun dekat rumah. Ingin sekali aku berlari hanya untuk membeli sebungkus chiky, tapi selalu timbul rasa tak berani. Selain uang yang kumiliki -- dari paman atau bibi yang selalu diberikan sembunyi-sembunyi—tak seberapa, ucapan ibu setiap pagi seperti sudah menjadi hipnoterapi. Akhirnya, aku hanya akan benar-benar ke warung jika diperintah ibu untuk membeli keperluan dapur.

Benci kian hari tertoreh di dinding hati. Mencoba melawan, tapi tetap saja tak berani. Perlahan namun pasti, tak ada kata cinta untuk ibu di hati.  Untuk apa ditumpuknya pundi-pundi jika sepeserpun aku tak pernah dibagi. Hatiku merutuk tak henti.

Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Tetap saja episode bersama ibu hanya berakhir pada benci. Sering aku berdo’a, meminta pada Yang Maha Kaya, untuk menjadikanku manusia yang tidak sepelit ibu. Berdo’a, untuk segera keluar dari penjara ibu. Menikmati kebebasan sebagai anak manusia yang tidak selalu didikte tentang uang saku. Tapi bagaimanapun, hormatku pada ibu tak pernah lalu. Tetap takut adalah kosa kata yang setia mendiami bilik hati.

Do’aku terkabul. Pada akhirnya,aku hidup tak lagi serumah dengan ibu. Beliau menepati janji untuk terus menyekolahkanku sampai di perguruan tinggi. Aku melanjutkan pendidikan yang lokasinya jauh dari rumah. Butuh perjalanan berjam-jam untuk tiba di sana. Sehingga, kost adalah keputusan terbaik untuk dijalani. Tahukah kau, betapa aku bahagia. Bahagia menikmati sebuah kebebasan menggenggam sejumlah uang. Bahagia tak lagi mendapat sarapan pagi dan kudapan sore hari tentang uang saku. Ah, Tuhan memang menyayangiku.

Dua bulan berlalu. Kurasakan betapa nikmatnya hidupku. Belanja ini itu tanpa khawatir mata ibu memelototiku. Jika malas memasak, warung di dekat kampus sudah siap melayaniku. Pun jika ada jilbab model baru. Aku dengan leluasa memilih lantas membeli. Aku benar-benar merasakan kebebasan dalam hal keuangan.

Tapi semua tidak berlangsung lama. Bulan ketiga, tugas kuliah mulai banyak merongrong dana. Kiriman bulanan dari ibu, tetap jumlahnya. Tidak berkurang pun tidak bertambah. Kemalasanku untuk memasak sendiri, sudah mulai kental. Sehingga makan di warung sepertinya hal yang wajib kulakukan. Belum habis umur bulan, lembaran di dompet mulai menipis. Hatiku meringis. Jika tak sampai hingga kiriman berikutnya datang, lantas apa yang harus kulakukan?

Kurebahkan kepala di atas bantal. Dipan di kamar kos rasanya mulai tak nyaman. Mata terpejam namun tak juga mampu menyihirku untuk lelap meski sebentar. Hatiku gusar. Meminta kiriman lagi pada ibu, itu sesuatu yang mustahil kulakukan. Muslihat apa yang akan disampaikan pada ibu, tak juga kutemu. Lagipula, hati kecilku tak tega untuk memeras ibu hanya demi memuaskan kebutuhan jajanku.

“Makanlah yang kenyang, Nduk. Coba masak sendiri. Ndak perlu jajan di warung. Jadi orang kudu tahu bagaimana mengatur keuangan.”

Kalimat ibu sebelum aku memutuskan untuk sekolah di sini mulai mengiang lagi. Ah, benar saja apa pesan ibu. Jika aku memasak sendiri, tak perlu kurogoh kocek dalam-dalam hanya untuk jajan.

Sejak saat itu, aku belajar untuk menata lagi pola hidupku. Mengencangkan ikat pinggang agar tak menjadi besar pasak dari pada tiang. Jika hasratku ingin belanja sesuatu yang tidak terlalu penting, maka kuberusaha pejamkan mata. Membayangkan ibu menasehatiku tentang sarapan pagi dan kudapan sore hari.

Perlahan, kurasakan cinta ibu melebihi apapun padaku. Prasangkaku tentang kepelitan ibu, mulai menjauh. Ibu bukan manusia pelit. Tapi hanya menanamkan padaku bagaimana bijak mengatur pengeluaran. Kuingat lagi kala kecil betapa ibu adalah manusia penyayang. Wataknya memang keras, namun hatinya selembut salju. Malam itu, aku sudah lelap ketika ibu membangunkanku. Sebuah baju hangat rajutan ibu hadiahkan untukku. Kata ibu, biar tidak kedinginan ketika besok mengikuti perkemahan. Mengenangnya, membuat mataku basah. Ah, terlalu banyak sangka burukku padamu ibu.

Sekarang, aku telah menjadi seorang ibu. Menjadi bendahara rumah tangga yang tentu saja tidak semudah orang melihatnya. Menerima gaji dari suami, lantas mengaturnya agar cukup hingga gaji bulan berikutnya kuterima lagi. Aku berusaha tidak pelit kepada anak-anakku. Namun kontrol uang saku tetap berlaku. “Mama pelit,” seru anakku suatu hari karena tak kuijinkan untuk membeli mainan yang terlalu sering ia beli lantas dibuangnya tanpa peduli. Kuhela napas. Kubelai kepalanya lembut, sembari kubisikkan ditelinganya tentang sayangnya jika uang hanya untuk dibuang-buang.  Anakku berontak tak mau dikendalikan. Tapi aku berusaha teguh untuk tetap menanamkan kebaikan. Menghargai rupiah yang tidak dengan mudah mencarinya. Pun bahwa mubadzir adalah perilaku tak terpuji. Bukan pula sikap yang ditauladankan para nabi. Memang tak mudah meluluhkan hatinya. Namun akan tetap kubisikkan di telinganya.

Benarlah didikan ibu dulu. Hemat bukan berarti pelit. Belanjalah sesuai kebutuhan, bukan memenuhi keinginan. Sekarang aku benar-benar bisa merasakan apa yang selama ini beliau ajarkan. Ibu, ma’afkan prasangkaku selama ini. Ternyata ada sebukit cinta di balik semuanya.

Seminggu yang lalu, secara tak sengaja kudengar obrolan ibu dengan seorang sahabatnya. Ibu berkata, betapa ia menyesal tak pernah sekalipun membuatku senang kala kecil. Tak pernah sekalipun memberi uang saku sekedar untuk jajanku. Dan aku disebutnya sebagai anak penurut yang tak pernah sekalipun menuntut. Bahkan menatap matanyapun tak berani kulakukan. Bukan maksud apa-apa. Semua hanya karena cinta. Agar aku tak salah langkah. Mendengarnya, air mataku berurai. Tak pernah sekalipun terucap cinta dari bibir ini.Hanya pilar-pilar benci yang teguh berdiri. Karena dulu, aku tak pernah tahu maksud baik ibu.

Ibu. Berdosalah aku jika masih saja membencimu. Durhakalah aku jika surga tak kutemu pada tapak kakimu. Kini tubuh rentamu bersimbah peluh. Namun tak henti merapal do’a untuk kebaikanku. Keriput kulitmu bagai saksi. Belaian kasihmu tak pernah berhenti. Gurat-gurat semyummu tulus tak ternodai.

Ibu. Ijinkan kini kubersimpuh. Meluruhkan telaga air mata yang tak mampu menandingi cintamu. Cinta yang selalu mengalir pada nadi. Berdenyut tak henti.

Ibu. Ma’afkan jika kuanggap kau adalah manusia paling pelit di dunia ini. Namun sejatinya, engkau adalah tangan Tuhan yang senantiasa memelukku penuh kasih.

Ibu. Kau adalah bidadari hati. Yang tak pernah terganti.

©Wied, 221213, Mlg

NB : Untukmembaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun