Mohon tunggu...
Wiwid Fitriani
Wiwid Fitriani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik Universitas Diponegoro

KKN Tematik Undip X Exovillage Tim Desa Purworejo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memeluk Lebih Erat, Bersua Lebih Dekat: Tradisi Nyadran Desa Purworejo

16 Desember 2021   14:35 Diperbarui: 16 Desember 2021   15:09 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Memeluk lebih erat, bersua lebih dekat, damai bertajuk mesra buaian alam memeluk nadiku, desaku, pujaan hatiku.

Sastra merupakan ungkapan romantisasi dari sebuah makna, dan desaku merupakan tokoh utamanya. Kini dapat divalidasi bersama-sama bahwa lirik lagu “Desaku” memang benar adanya. “Selalu ku rindukan, desaku yang permai”. Keanggunan dan kasih sayang itu, selalu menjadi alasan pulangku, sejauh apapun kaki melangkah. Desaku, Desa Purworejo, dari sinilah sebuah perjalanan panjang bermula.

Desa Purworejo memang selalu kaya akan makna, setiap garis waktu yang dilewati selalu memiliki filosofi, dan hal apapun yang dilalui tak pernah lekang dalam memori. Tradisi merupakan salah satu wujud kentalnya makna dan filosofi yang masih dijunjung hingga kini, bertitik mula dari kesadaran bahwa dalam hidup, kita tak serta merta ada, kita ada karena nenek moyang dan leluhur yang menjadi pendahulu kita, berjuang dalam medan kehidupan, melewati segala rintangan dan “lara lapa” sehingga menghasilkan kehidupan yang serba ada dan nikmat di hari ini. Sebagai generasi penerusnya, amanah besar hinggap di pundak kita semua, menjadi penerus perjuangan nenek moyang dan leluhur kita, nini danyang dan kyai danyang biasanya kita menyebutnya.

Danyang merupakan ungkapan dalam ejaan jawa, istilah aslinya adalah “Dan Hyang” yang artinya orang tua atau leluhur. Dan Hyang atau lebih familiar disebut dengan istilah Danyang bagi masyarakat Jawa ini selayaknya diperlakukan secara hormat, hal tersebut dikarenakan peran Dan Hyang atau orang tua ini sangat vital. Orang tua merupakan tempat untuk meminta “Penemu” atau pertimbangan, dan memiliki kedudukan yang tinggi di mata generasi yang lebih muda. 

Generasi yang lebih muda, atau biasa disebut dengan istilah “anak putu” biasanya memiliki tingkat mobilisasi yang tinggi, seperti merantau ke tanah atau daerah seberang meninggalkan para Dan Hyang tersebut. Sang “anak putu” merantau ke tanah atau daerah sebrang dalam berbagai kepentingan, yang biasanya berkepentingan untuk mencari penghidupan dengan bekerja atau “nyambut gawe” , ”anak putu” sebelumnya telah meminta “Penemu” atau pertimbangan kepada Dan Hyang sebelum merantau ke tanah atau daerah sebrang. 

Sebagai ungkapan terima kasih dan bentuk hormatnya kepada Dan Hyang, “anak putu” tersebut selalu menyempatkan untuk pulang ke asalnya, tak peduli sejauh apapun sang “anak putu” itu pergi. “Anak putu” selalu kembali pulang ke “Punden” atau rumah untuk menjenguk Dan Hyang dengan membawa berbagai macam buah tangan. Sang “Anak putu” memiliki prinsip bahwasanya berbagai macam buah tangan tidak akan seberapa jika dibandingkan pitutur atau penemu yang sudah diberikan oleh orang tua atau Dan Hyang tersebut.  

Mengingat besarnya peran orang tua atau Dan Hyang, atau dalam masyarakat Jawa akrab disebut dengan istilah Danyang, jasa dan perjuangan tersebut tidak boleh setitikpun tersilap dalam memori, ungkapan terima kasih dan rasa hormatnya akan terus ada dan tumbuh bahkan sampai orang tua telah tiada atau meninggal dunia. Dengan itu, diadakanlah upacara “Sadra” atau ada juga yang menyebutnya dengan “Sadranan” atau “Nyadran”. Tujuan upacara atau tradisi tersebut adalah sebagai ucapan terima kasih kepada Dan Hyang, leluhur dan nenek moyang sekaligus sebagai tanda bakti generasi yang lebih muda atau “Anak Putu”. Wujud tradisinya adalah berupa pembacaan dzikir dan doa yang ditujukan kepada Dan Hyang atau Danyang, atau bisa disebut dengan istilah “Pepunden”. 

Pepunden merupakan ruh dari Dan Hyang atau Danyang yang telah meninggal dunia. Ketika meninggal dunia, Dan Hyang tidak dianggap mati, melainkan hidup di alam yang berbeda, ruh Dan Hyang diyakini masih tetap hidup walau tak bisa terlihat secara kasat mata, karenanya walau telah tiada secara raga, bakti kepada Dan Hyang tetap diamalkan oleh “anak putu”. 

Selain pembacaan dzikir dan doa yang dikirimkan kepada para pepunden atau Dan Hyang, acara dilengkapi dengan “kondangan” atau acara makan besar dengan membawa berbagai macam makanan yang dilaksanakan di Bangsal. Sama halnya dengan ungkapan Presiden RI Pertama, Ir. Soekarno, “Jas Merah” yang artinya jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. 

Dan Hyang atau Danyang atau Pepunden yang berarti orang tua, nenek moyang atau leluhur merupakan sejarah yang mengukir perjalanan dan perjuangan yang panjang. Kita tak sepatutnya mencederai perjuangannya dengan memutus tali dan menyilapkannya dalam memori. Orang tua abadi sepanjang masa, ketika telah tiada, mungkin raga tak memang tak lagi bersama, namun jiwa akan lekat selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun