Mohon tunggu...
Dwi Wijayanti
Dwi Wijayanti Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis_Anggota HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia)_Anggota IPK (Ikatan Psikolog Klinis Jawa Tengah

Hallo para pembaca kompasiana, perkenalkan saya Dwi Wijayanti. Saya bekerja sebagai Psikolog PUSPAGA (Pusat Pembelajaran Keluarga) Kota Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dicari: Ayah yang Hilang!

12 Oktober 2020   21:48 Diperbarui: 12 Oktober 2020   22:12 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budaya kekeluargaan di Indonesia yang sedemikian kental menjadi keberuntungan tidak dirasakannya fatherless ini, akan tetapi juga menjadi kerugian. Keberuntungan yang dimaksud adalah ketiadaan peran ayah berusaha digantikan oleh orang-orang terdekatnya seperti keluarga besar yang turut mengasuhnya, kakek, nenek, paman, bibi, kakak, dll. Kerugian yang dimaksud adalah tanpa disadari akan melenakan seakan menjadi api dalam sekam. Artinya ada dikedalaman namun tidak nampak dipermukaan dan lama-lama dapat membakar. Keluarga yang tidak utuh oleh karena ketiadaan sosok ayah lebih banyak ditutupi dari anak, dengan menggantikan posisi tersebut oleh ibu. Terlebih beberapa keluarga tidak membahas secara terbuka penyebab perginya ayah karena menganggap anak-anak belum cukup dewasa mengerti keadaan orang tua. Padahal dengan menutupi ketidakhadiran tersebut dan seolah tidak terjadi apa-apa, menjadikan hal ini kurang tepat karena akan terus bertanya dan merangkai cerita yang belum tentu kebenarannya dan berdampak pada kekosongan jiwanya.

Seorang anak yang mengalami fatherless akan beresiko terjadinya juvenile delinquency (kenakalan remaja), secara khusus anak laki-laki, bahkan hingga masuk di lembaga pemasyarakatan atau drop-out dari bangku sekolahnya (Popenoe dalam Wiliams, 2011). Sebuah penelitian longitudinal pada siswa kelas 4 Sekolah Dasar menemukan adanya tingkat agresi yang lebih tinggi pada anak laki-laki yang tinggal hanya dengan ibu (Osborne dan McLanahan, 2007). Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa pengawasan dan pendampingan yang diberikan oleh ayah akan berpengaruh terhadap sikap maupun perilaku anak-anaknya. Jika hal tersebut tidak didapatkan oleh anak maka perilaku buruk merupakan salah satu bentuk tindak protes atas kekosongan dan kehampaan yang dirasakan anak.Awal permasalahan anak di sekolah maupun di lingkungan muaranya ada pada kondisi yang dialami di dalam keluarga.

Menurut Lerner (2011), ketiadaan peran penting ayah akan berdampak pada rendahnya harga diri (self esteem), adanya perasaan marah(anger), rasa malu (shame) karena berbeda dengan anak-anak yang lain, kesepian (loneliness), kecemburuan (envy) dan kedukaan (grief), kehilangan (lost) yang amat sangat dan rendahnya kontrol diri (self-control). Fatherless juga membuat seorang anak kurang memiliki inisiatif, kurang berani dalam mengambil resiko. Pada anak perempuan memiliki kecenderungan gangguan neurotik (Thomas, 2009). Dampak-dampak psikologis fatherless  yang dirasakan oleh anak tersebut di atas terjadi tidak hanya di masa kanak-kanak namun hingga dewasa. Lima tahun pertama kehidupan seoarang anak dianggap sebagai tahun-tahun dimana kerangka dasar kepribadian dan konsepsi diri diletakkan (Burn, 1993). Pada tahun-tahun tersebut anak akan menanamkan sejumlah prinsip dasar bagi kepribadian dan pembiasaan tingkah laku normatif yang menjadi bekal bagi sikap dan pola pikirnya kelak.

Peran ayah yang seharusnya dapat menjadi tulang punggung, pelindung dan model keteladanan bagi anak-anaknya. Idelanya ayah dapat memberikan kenyamanan tempat tinggal, keamanan dari bahaya yang mengancam secara fisik dan psikologis. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan merupakan suatu partisipasi aktif ayah secara terus menerus dalam pengasuhan anak. Kuat atau lemahnya kepribadian pada anak merupakan hasil dari pengasuhan dan penanganan dari kedua orang tuanya. Ketidakhadiran orang tua dalam pengasuhan dan penanganan pada anak maka akan ada ketimpangan dalam perkembangan. Berikut tiga tips praktis yang bisa para ayah lakukan agar anak tidak mengalami kondisi fatherless :

Lakukan interaksi langsung dengan anak. Misalnya: menemani anak bermain, mengajarkan anak mengendarai sepeda di hari libur, mengajak berwisata dan aktivitas lainnya.

Berikan dukungan secara fisik maupun psikologis kepada anak. Misalnya: mengambil raport anak di sekolah, menemani anak fieldtrip di sekolah. Hal ini terkesan hal sederhana, namun berapa banyak ayah yang melakukan hal ini?

Berikan perawatan dan kesejahteraan terhadap anak. Misalnya: kesiapan untuk mengakses ke tempat pengobatan jika ada kondisi darurat, menyediakan lingkungan tempat tinggal yang nyaman dan mendukung kegemaran anak.
Semoga bermanfaat..

REFERENSI
Burn, R.B. (1993). Konsep Diri, Teori Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku. Penerbit: Arcan, Jakarta.
Lerner, Harriet. (2011). Losing a Father Too Early.
Osborne, C, & McLanahan, S. (2007). Partnership instability and child well-being Journal of marriage and Family, Volume 69.
Smith, Darcy. (2011). Father's Day For The Fatherless.
Thomas, Pamelia. (2009). The Face of Father Loss.
Williams, Ray. (2011). The decline of fatherhood and the male identity crisis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun