Pembahasan perihal legalitas bendera bulan bintang atau yang dikenal dengan bendera GAM antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Aceh hingga dewasa ini tak kunjung selesai.
Ibarat sebuah bola salju namun berbalut lava panas, pada peringatan Milad GAM yang ke-40 (minggu, 4/11) permasalahan klasik ini kembali mencuat dipermukaan publik.
Peringatan Milad GAM yang digelar dihampir seluruh kabupaten/kota di Aceh oleh para mantan kombatan GAM Â kemarin, diisi dengan kegiatan doa bersama dan menyantuni anak yatim-piatu, fakir-miskin, janda korban konflik dan eks kombatan GAM.
Namun disayangkan ditengah-tengah khidmatnya perayaan Milad GAM dibeberapa daerah, harus tercemar dengan tindakan beberapa kelompok kepentingan yang berupaya untuk mengibarkan bendera bulan bintang yang hingga dewasa ini belum mendapatkan legitimasi dari pemerintah pusat.
Memang benar apabila legalitas bendera ini telah dibahas dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) beberapa waktu lalu yang tertuang dalam Qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Tapi perlu diingat bahwa dalam kesepakatan atau MoU Helsinki yang dirumuskan tahun 2005 silam, pokok permasalahan perihal Bendera dan Lambang Aceh yang masih menyerupai dengan Bendera dan Lambang perjuangan GAM terdahulu, dinilai haram dan tak memiliki izin untuk dikibarkan di wilayah Republik Indonesia. Hal ini disebabkan oleh bagian perbagian bendera atau lambang Aceh yang diajukan ke pemerintah pusat sarat dan dekat akan simbol perjuangan separatis GAM.
Berbeda dengan pernyataan Nurdin Ismail alias Din Minimi Agustus Silam (30/8), mantan tokoh pemberontakan yang mengakiri aksinya dengan menyerahkan diri ke aparat penegak hukum ini menyaranakan agar Pemerintah Aceh tidak hanya terus disibukan dengan perihal permasalahan Bendera. Seharusnya permasalahan terkait kesejahteraan dan pendidikan masyarakat di daerah-daerah terisolir di Aceh harus diutamakan. Seperti kebanyakan wilayah-wilayah pesisir Aceh yang dewasa ini minim akan fasilitas publik, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan bahkan lapangan pekerjaan sekalipun.
Karena menurut Din Minimi, keberhasilan merumuskan MoU belum sejalan dengan keberhasilan pemerintah Aceh dalam mensejahterakan rakyatnya. Pihaknya mengingatkan agar seluruh elemen pemerintah Aceh berhenti mencari dan menjadikan Bendera dan Lambang Aceh sebagai ajang untuk berdalih dan melupakan tugas dan kewajiban sebenarnya. Karena Kesejahteraan lebih utama ketimbang Bendera dan Lambang Aceh.
Sementara itu, pernyataan Ahli Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra (12/8) yang menyatakan bahwa permasalahan ini akan dapat diselesaikan dengan baik apabila terdapat kesepahaman antara pusat dan daerah. Menurut Yusril salah satu jalan yang harus dilakukan untuk mencapai kata sepakat, yakni mencari simbol atau lambang lain dengan sedikit perubahan sehingga tidak terdapat persamaan dengan bendera dan lambang yang saat ini masih pelik menghimpun kontroversi.
Oleh karenanya, sejalan dengan pernyataan Yusril sudah seharusnya di era pemerintahan Presiden Jokowi yang juga dihakodai oleh salah satu Man Behind The SceneMoU Helsinki Wakil Presiden Jusuf Kalla, harus segera menyelesaikan permasalahan ini dengan arif dan bijaksana. Karena sangat tidak elok apabila perdamaian yang telah dicapai sejak tahun 2005 silam harus tercemar hanya karena faktor bendera dan lambang Aceh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H