Yup! Seperti pagi-pagi sebelumnya, datang ke kantor selalu telat 15 menit. Maaf bos, bukannya tidak berusaha datang tepat waktu tetapi godaan bantal dan selimut dikala pagi susah untuk diabaikan.
Rutinitas dimulai, cek email sambil pesen sarapan ke OB-ku yang paling baik sedunia.. (lebay mode: on). Â Dan seperti biasa, email yang pertama aku baca adalah yang ringan-ringan, entah itu kiriman dari teman atau kiriman dari milis. Yang pasti, email dari bos-ku agak sedikit terabaikan kalau pagi-pagi gini. Malas banget kalo pagi-pagi udah disuruh mikir yang berat-berat, belum juga sarapan.
Satu email dari sahabat lama-ku cukup menyita perhatian. Judulnya "to marry with someone you love or to love someone you marry with". Gimana ga menarik, semua orang yang aku temui apalagi yang baru kenal akan menanyakan pertanyaan yang ada embel-embel nikahnya. Entah itu, "sudah menikah mba?" , kalau dijawab belum, "kapan dong rencananya?" . Pertanyaan basi dan mulai membuatku gerah akhir-akhir ini. Termasuk sahabatku yang satu ini. Chatting terakhir dengannya kemarin juga membahas masalah seputar pernikahan yang ditutup dengan perdebatan kecil tak berujung. Dan pagi ini dengan manisnya email dari dia ada di inbox-ku. Isinya kira-kira begini :
Quoted from somewhere…..
Serombongan turis Amerika yang berwisata di pedalaman Tiongkok berpapasan dengan arak-arakan meriah. Sebuah arak-arakan pernikahan; pengantin pria sedang menjemput pengantin wanita untuk menuju balai pesta. "Siapa yang wajahnya ditutup cadar tebal itu?" tanya para  turis. "Pengantin wanita, " sahut pemandu lagi. "Mengapa wajahnya harus ditutup?" "Di desa ini, orangtua menjodoh-kan anak-anaknya, dan seorang pengantin dilarang melihat calon pasangannya sampai resmi menikah, " jelas si pemandu.
Seorang turis penasaran: "Di negara saya, di mana setiap orang memilih jodohnya sendiri-bahkan ada yang sudah serumah sebelum menikah-angka perceraian sangat tinggi. Di sini, pasti jauh lebih tinggi ya?" Dengan heran si pemandu menjawab: "Di sini justru hampir tak ada perceraian." "Apa rahasianya?" tanya turis itu lagi. Si pemandu terdiam lama sebelum menjawab: "Di negara Anda, orang menikah dengan orang yang mereka cintai. Di sini, nenek moyang kami mengajar bahwa kami harus mencintai orang yang kami nikahi".
Pagi-pagi sudah mengirim bahan untuk ngobrol, kalau tidak mau disebut berdebat. Menurutku, kadang kalo sudah dikondisikan seperti itu, mungkin kita bisa belajar mencintai dan menerima pasangan kita apa adanya. Pada kondisi tersebut, kita tidak punya banyak pilihan. Dan bukan pada posisi bisa memilih. Apa yang ada didepan mata seolah telah diatur sedemikian rupa untuk kita jalani tanpa ada kesempatan untuk menawar atau menolak. Yang bisa kita lakukan hanyalah "just take it". Kuncinya disini adalah ikhlas, karena dengan ikhlas kita bisa menerima dan menjalani apa yang ada didepan mata tanpa ada penolakan atau pun tawar-menawar. Hal paling mendasar yang bisa melanggengkan suatu hubungan, itu menurutku.
Tetapi, hal ini tidak berlaku lagi pada zaman sekarang. Semakin kesini, kita semakin sering berhadapan dengan pilihan-pilihan. Kita terkondisikan dengan kebebasan dalam segala hal termasuk bebas memilih, "take it or leave it". Â Pada akhirnya hanya akan memanjakan sifat dasar manusia yang tidak pernah puas. Selalu saja merasa kurang akan pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan yang dibuat. Itu kenapa banyak yang tidak langgeng terlepas dari hal-hal yang mempengaruhi lainnya, lagi-lagi menurutku.
Menjawab pertanyaan yang menjadi subjek dari emailnya, adalah hal paling mudah namun pasti akan berakhir dengan diskusi-diskusi panjang. Aku akan memilih untuk menikahi orang yang kucintai, yang pastinya akan disanggah dan digoyahkan olehnya. Jadi, aku memutuskan untuk menuliskan sebuah pepatah bijak berikut sebagai balasan dari emailnya.
Quote from Somewhere,
Sebelum menikah, buka mata, telinga, hati dan pikiran untuk seseorang yang akan menjadi pendampingmu kelak, Insyaallah di dunia dan akhirat, "listen to your heart clearly". Setelah menikah, tutup mata, telinga, hati dan pikiran atas segala kekurangan dan kelemahannya.
Setelah menambahkan sedikit pertanyaan mengenai kabarnya, email tersebut terkirim dengan sukses. Dan saat itu juga, sarapanku terhidang dengan manisnya diatas mejaku. Sarapanku semakin nikmat rasanya sambil membayangkan reaksi dari sahabatku itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H