Mohon tunggu...
Witya Masyithah
Witya Masyithah Mohon Tunggu... lainnya -

pemimpi dengan segudang mimpi untuk Negeri yang gemah ripah loh jinawi ini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Naik Gaji

22 Januari 2011   06:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:18 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ternyata tidak hanya karyawan biasa saja yang mengeluhkan soal kenaikan gaji. Berita siang hari ini cukup menyita perhatian dan membuat saya tidak tahan untuk tidak berkomentar. Tujuh tahun bekerja tanpa kenaikan gaji memang sangat tidak relevan sekali jika kita melihatnya dari kacamata kesejahteraan pekerja. Harga barang-barang pokok maupun kenaikan angka inflasi setiap tahun, akan semakin mengecilkan nilai gaji yang jumlahnya sama dari tahun pertama hingga tahun terakhir. Padahal mungkin saja telah terjadi kenaikan harga barang sebanyak tujuh kali dan kenaikan angka inflasi yang cukup besar. Dan hal ini akan sangat terasa dampaknya bagi pekerja dengan gaji yang pas pas-an. Kadang, dampaknya inilah yang memacu beberapa pekerja untuk melakukan berbagai cara agar kebutuhan bisa dipenuhi. Untuk sebagian orang, bisa jadi mereka memilih jalan yang menyimpang dari jalurnya untuk bisa mendapatkan tambahan penghasilan. Sebagian lagi ada yang pasrah dan menyesuaikan kebutuhan dengan pendapatan, namun ada juga yang menempuh cara yang cukup sehat tanpa harus merugikan orang lain dalam pemenuhan kebutuhan. Topik ini memang tidak ada habisnya kalau dijadikan sebagai bahasan obrolan dimanapun itu. Seperti siang ini, "Seorang presiden mengeluhkan gajinya yang tidak pernah mengalami kenaikan". Tidak ada larangan untuk mengeluh, pun sangat manusiawi sekali. Namun, yang tidak manusiawi disini adalah ketika seorang pemimpin mengeluhkan hal yang sangat sensitif tersebut didepan mereka yang harus dipimpinnya dan notabene masih jauh dari sejahtera. Kasarnya, untuk bisa makan sehari-hari saja sudah lumayan. Rakyat kecil dan mereka yang hidupnya masih jauh dari kata-kata sejahtera akan kehilangan rasa kepercayaan dan kenyamanan terhadap pimpinannya. Mereka bisa saja berpikir, "Pimpinan gue yang kebutuhan hidupnya sudah dipenuhi oleh negara aja masih mengeluhkan soal gaji, trus gue yang ga punya apa-apa mau mengeluh ke siapa? Siapa yang mikirin nasib gue kalo pimpinan gue aja udah mikirin diri sendiri?". Sekilas terkesan egois bukan? Namun, memang itulah kesan pertama yang saya rasakan ketika mendengar berita di siang ini.

Kembali kepada analogi awal, jika seorang pemimpin diibaratkan sebagai seorang pekerja, maka kenaikan gaji biasanya ditentukan dari penilaian kinerja atau performansi mereka. Jika mereka cukup perform, kinerjanya bagus dan semua target kerja terpenuhi, maka seorang pekerja tersebut layak untuk kenaikan gaji atau bahkan promosi. Namun, jika sebaliknya apakah seorang pekerja tersebut layak mengusulkan kenaikan gaji? Saya yakin manajemen tidak akan mempertimbangkan untuk kenaikan gaji bagi pekerja yang tidak perform tersebut. Nah, jika manajemen diibaratkan sebagai rakyat, pemegang kedaulatan negara, maka rakyat berhak melakukan penilaian kinerja dan mempertimbangkan kenaikan gaji. Pertanyaan untuk rakyat, patutkah kita memberikan kenaikan gaji ditengah-tengah carut marut kehidupan bernegara yang tak kunjung habisnya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun