Aku menatap lekat album kenangan semasa SMA-ku dulu. Ku buka lembar demi lembar dan ku pandangi satu per satu foto teman semasa SMA-ku dulu. Masih pada lucu dan imut-imut. Sekarang, seperti apa mereka ya? Tanyaku dalam hati.
Mungkin mereka kini sudah menjadi manusia-manusia yang sukses di bidangnya. Menjadi manusia-manusia yang mampu meraih apa yang mereka impikan. Atau, justeru sebaliknya. Oh, tidak. Jangan sampai itu terjadi. Cukup aku yang masih dalam langkah di sini tanpa kemajuan. Masih menjadi aku yang selalu bergantung pada Mami dan Papi. Tetap menjadi aku yang manja dan tak bisa mandiri. Tetap menjadi aku, aku dan aku.............
Namun, tiba-tiba pandanganku terhenti pada sebuah foto seorang cowok. Berkulit putih, bermata sipit, berambut hitam dan berpotongan cepak. Tio Setya Irawan, itulah namanya. Iya, Tio. Anganku pun seakan kembali kepada masa lalu. Masa lalu, masa remaja yang begitu indah.
Tio, cinta pertamaku. Cowok yang pernah menoreh tinta merah di catatan hidupku sekaligus menoreh warna gelap di akhir masa-masa SMA-ku. Lelaki yang 5 tahun sudah lenyap dari pandanganku. Tapi entah mengapa, dia tetap saja tak pernah hilang dari pikiranku. Aku mengingat betul tentang dia, kesukaan dia, ketidaksukaannya, watak keras kepalanya, namun dia terlalu baik hati. Ah, tidak. Dia adalah lelaki kejam, ya, kejam.
“Kenalkan aku, Tio,” ucapnya sambil menjulurkan tangannya kepadaku.
Aku membalas uluran tangannya sembari menyebutkan namaku, “Alena.”
Dan sejak saat itulah aku mengenal Tio. Perkenalan singkat saat MOS masuk SMA. Namun sayang, aku dan Tio tak pernah satu kelas. Namun, kami sangat dekat, dekat sekali. Kemanapun kami selalu bersama. Hingga cinta datang di antara kami.
Aku sangat mencintai Tio. Begitupun dengan Tio yang sangat mencintai aku. Dia yang selalu ada untukku. Bahkan tak ada hari tanpa aku dan Tio. Di mana ada aku pasti ada Tio. Tak jarang bila seantero sekolah selalu memanggil kami bagai amplop dan perangko.
“Hmm,, kalo diibaratkan nih yaw Len, loe itu perangkonya. Dan Tio itu amplopnya, jadi nempel terus. Tak terpisahkan,” goda Netha yang membuat wajahku jadi memerah kayak kepiting rebus.
Netha, sahabatku memang kerap sekali menggodaku. Sudah menjadi hobinya mungkin. Terasa ada yang kurang jika tiada hari tanpa menggodaku.
“Loe apa-apaan seh, Tha, nggak lucu tauk,” timpalku sambil menunjukkan muka cemberut dan tetap sibuk makan gado-gado yang ada di hadapanku.
Netha cuma cekikikan melihatku yang terlihat kesal akan godaannya. Dia merasa berhasil karena telah membuatku kesal. Walaupun begitu, Netha adalah sahabat yang baik. Dia selalu ada untukku setiap aku ada masalah, tiap aku bertengkar dengan Tio, dia yang mendamaikannya. Netha juga selalu setia mendengarkan curhatanku. Yups, hari-hariku begitu indah dan aku merasa sangat beruntung memiliki pacar yag baik dan tampan seperti Tio serta sahabat sejati seperti Netha. Aku merasa sempurna atas kehadiran mereka, hingga aku merasa aku tak lagi butuh teman yang lainnya.
Dan saat ulang tahunku yang ke-17, benar-benar ulang tahun yang tak pernah bisa aku lupakan. Tanggal 30 september 2007 tepatnya puku 00.01, Tio dan Netha sengaja datang kerumahku, mereka dan keluargaku sengaja memberikan surprise untukku.
“Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Lena,” Tio menyanyi sembari membawakan kue ulang tahun untukku.
Aku kaget bukan main. Aku tak sabar untuk menup lilin ulang tahunku.
“Eh, sebelum tiup lilin, make a wish dulu dong,” ucap Tio.
Aku memejamkan mataku. “Tuhan, aku berharap kebahagian ini akan abadi, jangan pisahkan aku dengan Tio ya Tuhan,” do’aku pada Tuhan dengan penuh pengharapan. Lalu, aku meniup lilin ulang tahunku. Ku berikan potongan kue pertamaku untuk Tio.
“Selamat ya, Sayang, semoga di umur yang baru ini, kamu tambah dewasa, tercapai apa yang kamu impikan,” ucap Tio padaku.
Aku tersenyum memandangnya. Netha, Mami, Papi dan Kak Marcell cuma tersenyum memandangku. Aku tahu, mereka bahagya melihatku bahagya. Namun tiba-tiba saja, hatiku terasa sakit. Dan semua yang semula terlihat bercahaya, kini terlihat gelap. “Brruuukkkkkk.”
Tak berapa lama dari hari ulang tahunku, aku sering sakit-sakittan. Setelah Dokter menvonis ku kanker hati, semua terasa berbeda. Di akhir masa SMA-ku, semua terasa suram bagiku. Dan yang lebih menyakitkan untukku, Tio berselingkuh dengan Netha, sahabat karibku. Dunia bagai runtuh di hadapanku. Disaat aku membutuhkan dukungan dari pacar dan sahabatku, justeru luka yang mereka suguhkan kepadaku. Antara kecewa dan rasa tak percaya yang saat itu memenuhi otakku. Dua tahun lebih aku bersahabat dengan Netha, dua tahun aku menjadi pacar Tio, kog tega-teganya mereka menghianati kepercayaanku disaat aku sedang sekarat.
“Len, semua nggak seperti yang kamu kira,” ucap Netha kepadaku dan berusaha menjelaskan semuanya padaku. Namun sayang, hatiku terlanjur sakit dengan apa yang ditorehkannya padaku. Walau ada rasa sesal yang terlihat begitu jelas pada sorot matanya. Ah, tapi aku tak peduli itu.
Hingga lulus SMA, aku benar-benar tak mau mengenal Tio dan Netha. Dan menurutku, mereka benar-benar manusia yang tak berperasaan. Sewaktu aku dirawat di rumah sakit, jangankan menjenguk, sekedar basa-basi bertanya akan keadaanku saja, tidak.
Dan semenjak lulus, aku benar-benar tidak tahu keadaan Tio, di mana dia dan apa kabarnya. Aku hanya tahu, Netha dan Tio berpisah, dan Netha masih ada di Jakarta. Sedang Tio, entahlah, dia menghilang bagai ditelan alam.
Selang beberapa setelah aku lulus, mungkin teman-teman telah bersibuk ria dengan masa-masa kuliahnya. Sementara aku? Aku selalu disibukkan dengan pengobatan-pengobatan karena penyakitku. Hingga datanglah seorang malaikat yang sengaja mendonorkan hatinya untukku. Malaikat yang hampir lima tahun ini hatinya ada ditubuhku, namun aku tak pernah tahu siapakah dia. Bahkan, keluargaku pun tak pernah mau menjawabnya, tiap kali aku bertanya.
Rasa penasaran itu selalu saja menghantuiku. Ingin sekali aku mengucapkan terima kasih terhadanya, terhadap keluarganya.
® ® ®
Terdengar suara Mbok Yem memanggilku, “Non, ada tamu!”teriaknya memanggilku dari balik pintu kamarku.
“Iyaw mbok,” jawabku dan kemudian meletakkan album SMA ku di meja samping ranjangku. Aku langsung membuka pintu kamar dan bergegas keluar menuju ruang tamu.
Betapa kagetnya aku, Netha ternyata tamu yang dimaksud Mbok Yem. Aku benar-benar kaget atas kedatangannya. Aku menatapnya masih dengan kemarahanku. Lima tahun tetap saja tak mampu mengobati lukaku atas penghianatan yang dilakukannya dengan Tio. Sahabat karibku sendiri selingkuh dengan pacarku. Oh, sungguh sangat menyakitkan sekali.
“Mau apa lagi kamu datang kesini, Tha?” tanyaku ketus. Rasanya aku muak sekali berhadapan dengannya. Berhadapan dengan sahabat yang telah merebut pacarku. Rasa sakit lima tahun yang lalu, kini kembali hadir menyeruak dalam hatiku. Dan tiba-tiba saja sesak itu kembali muncul dalam benakku.
“Len, maafin aku, Len, tapi semua nggak seperti yang kamu pikirkan,” ucap Netha mengiba. Terlihat jelas penyesalan dalam tatapannya. Tapi sayang, semua itu tetap tak lebih hebat dari rasa sakit yang aku rasakan selama ini.
“Udahlah, Tha, dah berlalu. Aku nggak mau bahas itu lagi!” ucapku masih dengan kesinisanku. Masih dalam kemarahanku. Keegoanku.
“Nggak, Len, semua belum berlalu. Kamu harus tahu kebenarannya!”
“Apa maksudmu?”tanyaku menyelidik. Kepalaku seakan penuh dengan tanda tanya. Entahlah, apa yang dimaksud Netha.
Netha menatapku lekat-lekat. Dia menarik nafas panjang. Menata kata demi kata apa yang akan diucapkannya padaku. Mungkin agar aku bisa mengereti apa yang diucapkannya. Tidak, tapi lebih pantasnya mau mengerti dengan apa yang akan diucapkannya. Dan aku sudah bersiap-siap mendengar apa yang akan diucapkannya padaku.
“Aku dan Tio nggak pernah berselingkuh Len. Sekalipun nggak pernah. Semua hanya sandiwara. Dan kamu harus tahu, Tio bunuh diri, agar dia bisa mendonorkan hatinya buat kamu,” ucap Netha dengan terbata-bata. Air bening perlahan menetes dari sudut matanya. Seakan ada bayangan gelap dalam angannya.
Mendengar apa yang diucapkan Netha, bagai mendengar petir disiang bolong. Aku benar-benar nggak percaya. Aku masih berharap semua ini bohong. Karena aku berharap Tio masih hidup. Tapi..........
Tiba-tiba saja, air mataku jatuh perlahan. Tubuhku terasa lemas tak berdaya. Sulit bagiku untuk menerima semua ini. “Katakan Tha, semua ini adalah bohong!!”ucapku dengan nada meninggi.
“”Nggak Len, ini adalah kenyataannya. Kamu harus tahu, karena aku nggak bisa ngebiarin kamu hidup dengan kebencian. Aku nggak sanggup harus kamu benci, dan aku juga nggak bisa ngeliat kamu begitu membenci orang yang udah nyelametin hidup kamu. Orang yang sangat mencintai kamu,” ucap Netha dengan begitu tegas.
Cinta?? Cinta tak begini caranya. Ini bukan cinta. Ini penyiksaan. Tio?? Kenapa dia melakukan ini semua terhadapku. Sandiwara itu, sandiwara yang bertahun-tahun menyiksaku. Dan kini aku harus menerima kenyataan pahit kalau Tio telah tiada dan itu karena aku. Untuk menyelamatkan nyawaku. Oh, tidak!! Ini begitu berat untukku. Dan yang lebih menyakitkan untukku, aku tak bisa mengucapkan terima kasih padanya. Semua sudah terlambat dan Tio telah pergi untuk selama-lamanya. Selama-lamanya.
® ® ®
Hari ini Netha sengaja meluangkan waktunya untuk mengantarku berziarah ke makam Tio. Aku dan Netha duduk disamping nisan yang telah usang dimakam waktu. Aku tak kuasa membendung air mataku. Semua ini teramat menyakitkan untukku. Kebohongan demi kebohongan yang berakhir dengan luka yang begitu sangat perih. Lebih perih daripada saat aku mendengar perselingkuhan Tio dengan Netha. Tidak, itu bukan perselingkuhan, melainkan sandiwara. Sandiwara yang sangat konyol. Sangat konyol namun begitu menyiksa.
Aku menangis terisak. Aku benar-benar tidak sanggup menerima ini semua. Sangat menyakitkan sekali. Tapi aku harus kuat. Harus. Teruntuk Tio yang telah memberikan hatinya untukku.
“Io, maafin aku ya Io, gara-gara aku kamu, kamu......”,ucapku terbata. Ku peluk nisan Tio sembari menangis terisak. Netha Cuma diam terharu ditengah isaknya.
“Udah Len, pulang yuk,” ajak Netha yang tak sanggup melihatku menangis terisak.
Aku sama sekali tak peduli denga apa yang diucapkan Netha. “Aku kangen Tio Tha,” ucapku pelan. Teramat pelan diantara isak tangisku.
Netha malah terdiam. Air mataku semakin deras mengalir. Aku benar-benar tak sanggup menerima semua ini. Tapi aku bisa apa? Nasi telah menjadi bubur. Tio telah pergi untuk selama-lamanya dan tak akan pernah kembali.
® ® ®
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H