Mohon tunggu...
Witri Nailil Marom
Witri Nailil Marom Mohon Tunggu... Lainnya - (Ruang khusus fiksi)

Hai, selamat membaca. Semoga Allah bahagiakan kita hari ini. Aamiin :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Belum Berakhir

31 Desember 2024   23:42 Diperbarui: 31 Desember 2024   23:42 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berlari, membayangkan kakiku adalah kaki burung onta. Menyusuri kelok-kelok jalan setapak dalam kebun karet itu.

Air mataku mengalir, seketika mengering terhempas angin yang menabrak dadaku seakan menghalangi oksigen masuk paru-paru. Nafasku tersengal. Dadaku kembang kempis.

Terik mentari yang menyusup melalui celah dedaunan karet menjelma lidah-lidah api yang membara dan menusuk-nusuk kulitku. Mendidihkan darah yang mengalir dalam nadiku.

Hatiku begitu hancur. Tiang-tiang harapan yang ku bangun satu per satu bersamaan dengan pondasinya kini luluh lantak. Dihancurkan oleh ketidak berdayaan yang mengangkangi hidupku.

Aku tidak tau, bahwa kegagalan kali ini bisa sesakit ini. Dan tahun ini, menjadi medan tempur terberat (setidaknya selama aku hidup sampai saat ini).

Aku berhenti sejenak. Mataku menerawang ke langit. Memandang awan yang berarak mengikut angin ke selatan. Sedikit kelabu. Hingga perlahan setetes air menerpa wajahku.

Gerimis jatuh di batang-batang pohon karet. Titik demi setitik mengalir pelan pada kulit kasarnya, seakan membentuk lintasan tersendiri. Induk Kutilang memeluk bayi-bayinya yang kicauannya masih patah-patah. Semut-semut merah berbaris masuk ke dalam buntalan dedaunan kering dan lubang-lubang tanah yang mereka kerjakan siang malam.

Aku melangkahkan kaki. Tak lagi berlari. Dalam suasana gerimis itu, aku ingin menikmati aromanya. Tapi sayang, gerimis tak bertandang lama. Ia hanya melintas sebentar. Mungkin begitulah perjalanan hidup. Singkat.
 
Namun bagaimanapun, saat ini aku tidak ingin mati. Aku ingin berlari sejauh mungkin dari malaikat maut. Aku tidak ingin mati membawa luka kegagalan. Aku ingin memperbaiki segalanya lebih dulu. Aku ingin menata ulang bangunanku.

Aku sampai pada ujung kebun karet, yang membawaku pada sebuah undakan kecil. Ada delapan anak tangga, yang terbentuk dari tanah dan batu yang sering diinjak orang. Aku  melangkah naik. Disambut pintu pendek dan cukup lebar seukuran dua kali badanku.

Baru selangkah, aroma wangi kemenyan, dupa dan berbagai macam bunga menyambutku. Aku seperti memasuki dimensi lain.

Angin yang berhembus cukup kencang, membaurkan wewangian dengan aroma dedaunan kering dan tai kelelawar dan burung yang ada dimana-mana. Tidak ada yang merawat tempat itu, kecuali jin-jin nakal dan setan yang tidak suka bersih-bersih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun