Tok tok tok ...
Suara ketukan pintu itu datang lagi. Namun kali ini Reno mencoba acuh, memilih menaikkan selimut tipisnya itu hingga menutupi kepala.
Tok tok tok ...
Tok tok tok ...
Namun, seperti prasangkanya, ketukan tak akan berhenti sebelum dirinya membukakan pintu. Air mukanya terlihat begitu gusar. Sudah dua puluh satu malam berturut-turut dia datang setiap lewat tengah malam. Padahal, sejak malam ketiga sudah Reno katakan untuk jangan lagi menganggu. Tapi dia, sosok perempuan yang ia kenal itu, tak pernah mengindahkan kata-katanya.
Dan seperti biasa, meski jengkel ia tetap beranjak dari ranjang sambil mengumpulkan sisa kesadarannya. Dengan badan terhuyung melawan kantuk dan dingin dini hari yang merambat sampai ubun-ubun.
"Apalagi maumu?" Tanya Reno begitu pintu terbuka. Menampakkan sosok perempuan dengan baju yang sama seperti malam-malam lalu. Perempuan itu hanya diam dengan memasang wajah datar. Menatap melas pada Reno  yang menghela napas panjang hendak menutup kembali pintu. Geram.
"Tunggu ..." perempuan itu menahan handel pintu.Â
Reno melirik jam dinding yang ada di belakangnya. Dengan tegas, jari telunjuknya mengarah kepada jarum jam yang terus berputar, "lihat! jam setengah dua dini hari", katanya dengan tatapan tajam. "Tubuh dan kepalaku sudah lelah hari ini, bisakah kamu tidak melakukan ini lagi? Aku mau kembali tidur. Besok ada banyak hal yang harus aku urus, dan itu karenamu."
Perempuan itu bergeming. Mematung seperti menghitung rangkaian ubin putih di kakinya, seraya memainkan ujung lengan baju panjangnya yang kotor. Diamnya justru membuat Reno semakin sebal. "Hampir sebulan kamu begini, lama-lama aku bisa darah tinggi dan gila karenamu."
"Aku hanya ingin melihatmu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengamu." Jawabnya dengan suara parau.
"Ku rasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Tidak ada yang menjamin apa yang akan kamu katakan itu benar atau hanya mengada. Dan ... ah iya, aku sama sekali tak mempercayai apapun yang keluar dari mulut entitas sepertimu."