Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Wartawan dan Bocah Masuk SD

10 Mei 2011   13:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:52 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah melamar menjadi seorang wartawan harus sudah bisa menulis atau tidak?

Pertanyaan itu mengingatkan saya pada pertanyaan seorang kawan yang akan memasukkan anaknya ke sebuah sekolah dasar (SD) favorit. "Apakah syarat anak bisa baca tulis di sekolah ini merupakan syarat mutlak atau tidak?"

Tentu saja baik pihak perusahaan atau sekolah cenderung memilih wartawan yang sudah bisa menulis atau anak yang sudah bisa baca tulis. Dengan menerima wartawan sudah bisa menulis perusahaan tak perlu direpotkan dengan kewajiban melakukan training, para atasan wartawan baik redaktur hingga tingkat pemimpin redaksi, tak perlu mengkerutkan dahi untuk mengedit tulisannya.

Karena itu perusahaan penerbitan baru biasanya cenderung memilih cara instan atau merekrut wartawan yang telah berpengalaman. Merekrut wartawan yang baru lulus kuliah dianggap sangat berisiko untuk diajak berlari kencang oleh pihak perusahaan.

Namun sebenarnya menjadi wartawan bukan sekadar bisa menulis. Yang tak kalah penting juga mengumpulkan data, termasuk menembus sumber berita. Kombinasi semuanya memang paling ideal, namun sebagian besar wartawan punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Ada wartawan yang pengamatannya tajam sekaligus bagus tulisannya. Hanya saja wartawan tersebut jarang membuat berita eklusif karena ia lemah dalam komunikasi, tak luwes dalam berhubungan dengan sumber berita yang dicari.

Nah, wartawan kuat di lapangan biasanya punya kekuatan melakukan lobi dan menembus sumber berita. Tapi apakah wartawan seperti ini bisa menjadikan data-data yang diperolehnya di lapangan menjadi sebuah tulisan bernas dan menguggah hati, belum tentu.

Ada satu dua wartawan yang selalu berapi-api bercerita setiap kali habis meliput sebuah peristiwa heboh di lapangan. Cerita yang ia sampaikan selalu runtut, heboh, dan enak didengar. Namun begitu ia menulis, ternyata tak seindah yang diceritakannya. Atasan yang bersangkutan terpaksa menulis apa yang ia ceritakan dan membuang apa yang telah ia tulis.

Cerita tentang berbagai kategori wartawan di atas saya maksudkan untuk bisa dikaitkan dengan pertanyaan diatas. Apakah melamar menjadi wartawan harus bisa menulis? Ternyata tidak selalu bukan.

Menjadi wartawan bukan karena ia bisa menulis. Tapi karena ia memang ingin menjadi wartawan yang kelak diwujudkan dengan kegigihan, tahan banting, dan selalu punya naluri untuk membela yang lemah.

Karena itu menjadi wartawan wajib melalui jenjang psikotes, tes kesehatan dan wawancara. Selanjutnya masih ada proses training baik dalam hal menulis, bahasa, hingga etika di lapangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun