Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Politik

Survei Presiden Saat Rakyat Lagi Marah

17 Mei 2011   13:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:32 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_108665" align="alignleft" width="240" caption="SBY berjalan bersama PM Thailand Abhisit Vejjajiva pada KTT ASEAN 8 Mei lalu. KTT tentu penting, namun turun ke desa juga tak kalah mendesaknya.(Afp/antarafoto)"][/caption] Hasil survei Indo Barometer terkait performa enam Presiden RI menunjukkan hasil yang mengejutkan dan mungkin mengecewakan. Mengejutkan karena almarhum Soeharto yang dulu dibenci bahkan sempat menjadi musuh bersama, kini seolah bangkit lagi. Penyebab kebangkitan sosok dan era Soeharto sebenarnya bukan karena ia  pantas diidolakan, namun karena Presiden saat ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) gagal menjaga popularitasnya. Justru pada masa jabatan kedua kalinya, SBY seperti banyak membuat langkah blunder.  Rakyat seperti tak percaya rezim SBY bisa menyelesaikan kasus-kasus besar seperti kasus Bank Century, perlindungan TKI, penanganan korupsi mafia pajak, rekening gendut polisi, dan kini kasus suap Sesmenpora. Survei yang dilakukan Institue for Strategic and Public Policy Research (Inspire) soal kasus-kasus di atas bebeberapa waktu lalu menunjukkan itu. (Lihat tabel). Publik masih percaya kepada Presiden SBY untuk isu-isu makro yang lebih abstrak, seperti kebebasan beragama (68,5 persen) dan kebebasan pers (67,5 persen). Maka kemudian muncul perbandingan bahwa jika Soeharto menasbihkan diri sebagai bapak pembangunan, Abdurahman Wahid dikenal sebagai bapak pluralisme, Soekarno nasionalis, lalu gelar apa yang pantas untuk SBY? Gelar yang kemudian dianggap paling pas adalah sebagai bapak/presiden wacana. Gelar tersebut berkonotasi negatif. Karena identik dengan kelambanan bertindak. Padahal dengan kelambanan itu kasus-kasus kemudian menjadi menumpuk.  Setiap persoalan ia tanggapi. Setiap rapat bikin inpres. Namun hasilnya tidak ada. Rakyat menjadi tak percaya, putus asa, bahkan marah!. TAK ETIS Beragam tanggapan atas survei itu. Tentu saja yang paling banyak adalah membenarkan, meski yang kecewa juga tak sedikit. Salah satu tanggapan kecewa cukup jernih adalah datang dari Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi. Katanya, survei mengenai perbandingan antara kinerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan era Presiden Soeharto berdasarkan persepsi masyarakat kurang etis secara moral karena keduanya berada para zaman yang berbeda. Menurutnya, membandingkan keberhasilan satu kinerja pemerintahan seharusnya diukur dengan indikator yang didasarkan data dan fakta. Tiga indikator utama pun ia sebut seperti anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), pertumbuhan ekonomi, serta ketersediaan lapangan kerja. "Tidak bisa keberhasilan satu pemerintahan diukur secara persepsi antara yang sudah berjalan dan yang sedang berjalan. Apalagi kalau dinilai lewat persepsi,  hasilnya akan sangat bias," ujar seperti dikutip situs Bisnis Indonesia. Sementara itu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan bahwa mungkin untuk saat ini, survei tersebut bisa dikatakan benar. Tapi kalau dinilai 10 tahun yang akan datang hasilnya akan beda. Mahfud juga menilai masyarakat menilai positif Soeharto karena sedang marah dengan pemerintahan yang saat ini sedang berkuasa.  "Dulu tahun 1998 juga beda, sama yang sekarang juga beda. Yang sekarang juga harus dinilai 10 tahun yang akan datang. Dulu, pada tahun 1998, karena masyarakat sedang marah, Soeharto tak memiliki nilai. Artinya survei itu harus dipahami dari konteks dan waktunya sehingga tidak bisa disamaratakan. VERSI RAKYAT Cobalah ngobrol dengan petani, tukang tambal ban, tukang sayuran, buruh bangunan, dan orang kecil lainnya. Mereka sebenarnya bukan merindukan Soeharto, namun merindukan berbagai kemudahan seperti zaman orde baru. Saat itu roda perekonomian masyarakat bahwa begitu mudahnya, segalanya begitu terjangkau. Harga sembako murah. sekolah mudah, mencari pekerjaan juga relatif gampang, "Dulu punya uang 50.000 bisa buat untuk sebulan. Sekarang boro-boro," ucap Jasman, seorang pedagang sayur. Dulu sekolah juga gampang. Anak pintar, meski tak mampu, bisa sekolah hingga universitas. Sekarang  walau ada program pendidikan gratis, tapi sekolah  bagus menjadi mahal. Padahal semua orangtua ingin memasukan anaknya ke sekolah yang bagus. RSBI tak lagi mampu terjangkau orangtua berpenghasilan pas-pasan. RSBI pun disingkat sebagai Rintisan Sekolah Berbiaya Internasional bukan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional. Survei Indobarometer juga menunjukkan bahwa masyarakat kecil dan pedesaan paling banyak merindukan zaman Orde Baru dibanding Orde Reformasi. Menurut Ekonom Faizal Basri penurunan angka kemiskinan lebih lambat di desa dibandingkan dengan di kota. Dua pertiga masyarakat miskin itu adanya di pedesaan. Sejak era reformasi, sektor pertanian semakin amburadul karena harga pangan tak lagi ditopang. Bulog semakin tak berperan, sementara mekanisme pasar semakin menggila. Produk impor semakin membanjiri Tanah Air sehingga produk lokal tak dapat bersaing. Ia juga mencatat sejak era reformasi tak ada penambahan bendungan. Banyak saluran irigasi yang rusak, tetapi tak diperbaiki. Era reformasi lebih banyak fokus pada pembangunan jalan tol dan bandara. Faisal bahkan punya data bahwa Presiden SBY jarang turun ke desa-desa. Presiden hanya rapat dari istana ke istana. Atau paling tidak (rapat) di bandara.  "Sekalinya turun ke desa, salah.  Ada sebuah foto di Setneg di mana Presiden menggulung celana panjangnya hingga ke lutut ketika hendak panen bersama," paparnya seperti dimuat kompas.com. "Presiden juga menanam padi segepok-segepok. Seharusnya menanam padi itu harus satu per satu. Padahal, beliau doktor dari IPB." INSTROSPEKSI Hasil survei saat rakyat lagi marah tentu saja tak baik ditanggapi kemarahan pula. Rezim SBY-Boediono masih sampai 2014 dan harus introspeksi. Intinya kurangilan wacana dan berbuat nyata. Tak usah malu bahwa turun ke desa seolah identik dengan Soeharto. Bukankah, tak baik bahkan berbahaya membuat rakyat kecewa dan marah berlama-lama? SURVEI INDO BAROMETER Presiden Paling Disukai 1. Soeharto 36,5%. 2. Susilo Bambang Yudhoyono 20,9%. 3. Soekarno 9,8 % 4. Megawati Soekarno Putri 9,2% 5. BJ Habibie 4,4 % 6. Abdurahman Wahid 4,3 %. 7. Semua suka 7,8% 8. Tak ada yang disukai 1,3 % 9. Tidak tahu atau tidak jawab 5,9%. Presiden Paling Berhasil 1. Soeharto 40,5% 2. Susilo Bambang Yudhoyono 21,9% 3. Soekarno 8,9% 4. Megawati Soekarno Putri 6,5 %. 5. BJ Habibie 2,0 % 6. Abdurahman Wahid 1,8%. 7. Semua berhasil 3,8% 8. Tak ada yang berhasil  3,0% 9. Tidak tahu/tidak jawab 11,6% METODE SURVEI * Dilakukan 25 April hingga 4 Mei 2011 * Di 33 provinsi di seluruh Indonesia *  Wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner. * Melibatkan 1.200 orang responden *  Margin of error sebesar kurang lebih 3,0% pada tingkat kepercayaan 95 %. * Metode multistage random sampling untuk publik dewasa Indonesia. SURVEI INSPIRE KETIDAKPERCAYAAN MASYARAKAT PADA REZIM SBY * Perlindungan TKI 64,8 persen * Penanganan Century dan Sri Mulyani 54,1 persen * Pemberantasan korupsi 56,9 persen * Membongkar mafia pajak 66,8 persen. * Kasus rekening gendut polisi 56,4 persen KEPERCAYAAN MASYARAKAT PADA REZIM SBY * Kebebasan beragama 68,5 persen. * Kebebasan pers 67,5 persen.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun