Ringkasan sebelumnya: Ramon nyaris dipaksa melayani nafsu menyimpang Jaka. Ia berontak mengingat saat itu bulan puasa. Telepon dari seseorang menyelamatkan Ramon dari perbuatan nista Jaka. Selengkapnya…
Pria berbadan kekar yang sedang menjaga Ramon agar tak kabur akhirnya menunjukkan mukanya. Sambil menyelipkan pistol di pinggang, pria itu mendekati Ramon dan tersenyum.
Ramon menerka, lelaki itu mencoba ramah dengannya karena tengah membutuhkan sesuatu. Tapi sesuatu itu seperti apa, Ramon tak mengetahuinya.
“Sobat, kamu lapar tidak?” tanyanya penuh basa-basi.
Ramon tak segera menjawab karena pertanyaan itu dianggap aneh dan tidak pas.
“Kalau lapar nanti akan saya belikan makanan, asal….”
“Asal tahu saja bung, ini kan bulan puasa. Haram menawari makanan kepada orang tengah berpuasa…” Ramon menjawab setengah berteriak.
Pria yang ternyata memiliki tatto bertuliskan huruf Yati di tangannya tampak terkejut seraya berucap “Astagfirullah. Maaf, maaf sekali. Saya lupa…”
Sepertinya ia benar-benar lupa. Pikirannya tertuju pada sesuatu yang ingin diketahuinya. Sesuatu itu hanya Ramon yang tahu.
“Saya bisa saja memborgol kembali tanganmu. Tapi saya rasa tak perlu,” katanya lagi. Matanya mengarah pada borgol yang disembunyikan Ramon namun masih tersembul di saku celananya.
Giliran Ramon tersentak karena pria itu seperti sudah membaca usahanya untuk kabur. Diam-diam ia menganggumi kejelian pria lumayan tampan itu di hadapannya. Pantas saja Jaka merekrut sebagai salah satu pengawalnya.
“Kenalkan nama saya Jarpul. Kamu tak perlu memperkenalkannya karena saya sudah tahu siapa kamu,” kata pria itu seraya menyodorkan tangannya penuh percaya diri.
Ramon tak punya alasan untuk menolak ajakan perkenalan dari pria bernama Jarpul itu. Ia seperti pernah mendengar namanya. Ramon berusaha mengingatnya kembali, dimana ia mengenal nama Jarpul.
Oh ya, Arnilah yang pernah menyebut nama itu. Ah, jangan-jangan pria ini…
“Kok malah bengong. Ada yang salah dengan saya?”
“Oh, tidak. Senang berkenalan dengan Anda. Jadi saya harus memanggil bagaimana kepada Anda?”
“Cukup dengan Jarpul atau Pul saja.”
***
Tanpa ditanya Jarpul menceritakan asal mula nama Jarpul. Nama asli pembelian orangtuanya adalah Sukirman. Namun oleh kawan-kawan sepermainannya ia kemudian dipanggil dengan Jarpul yang artinya jarang pulang.
Nama itu disematkan karena ia memang suka begadang. Ia tak betah di rumah karena orangtuanya sering bertengkar dan kerap memarahinya.
“Nama itu saya pergunakan terus sampai sekarang karena lebih pas dengan dunia yang saya geluti. Lucu ya.”
Ramon tersenyum seolah menyetujui cerita Jarpul yang dianggapnya lucu, padahal katrok.
“Saya menikah di usia muda. Tapi saya tinggalkan istri saya begitu saja karena kecantol wanita lain. Istri saya itu bernama Yati.”
Jarpul diam sejenak seperti hendak mencari kata-kata dan merangkaikannya secara pas.
“Terus terang saya menikah muda karena ‘kecelakaan’. Saya menghamili Yati sebelum dia menjadi istri. Setelah menikah saya bingung karena tak punya pekerjaan tetap. Saya malu pada mertua dan tetangga. Begitu kecantol janda kaya raya, saya menganggap masa depan saya untuk sementara bersama janda itu.”
“Sekarang saya mengakui bahwa saya telah melakukan kesalahan. Saya khilaf. Saya jadi ingat anak saya yang juga saya tinggalkan begitu saja. Dia sekarang sedang lucu-lucunya.”
Nada penyesalan tampak pada pengakuan Jarpul. Tapi penyesalan dimanapun datangnya belakangan. Mengembalikan sesuatu yang hancur menjadi baik kembali tak cukup dengan penyesalan
“Emang hubungannya apa denga saya, bung?”
Mendengar pertanyaan itu, mata Jarpul tampak berbinar. Ia memang menunggu sejak lama pertanyaan seperti itu.
“Nah itu dia sobat. Kamu tahu nggak aku telah mengambil celana dalam wanita di kamarmu tempo hari. Nah, CD itu mengingatkan pada istriku. Aku seperti mengenalnya.”
Ramon mulai menebak arah cerita Jarpul, namun ia memilih diam karena takut menyimpulkan. “Jadi tolong beritahu saya siapa pemilik celana dalam itu?”
Ramon bisa saja langsung menjawab bahwa Arnilahpemilik CD itu. Namun ia masih ragu apakah pria di hadapannya itu benar-benar suami calon istrinya atau bukan. Lagi pula, ia tak ingin Arni kembali kepada suaminya.
“Nama lengkap istri saya Marniyati dan biasa dipanggil Yati. Saya masih mencintainya. Saya masih mengingatnya karena itu saya abadikan nama dia menjadi tattoo di sini.” Jarpul berkata lagi menunjukkan tattonya.
“Tapi nama pemilik celana itu Arni, lengkapnya Arniyatun. Dia seorang pelacur, tak mungkin pelacur menjadi istrinya mas Jarpul.” Ramon akhirnya memberikan jawaban palsu.
Jarpul tampak kecewa dengan jawaban itu. Tak lama kemudian ia membenarkannya. “Ya istri saya tak mungkin jadi pelacur. Ia bekerja di sebuah restoran di Jakarta. Tapi mengapa celana itu mirip dengan istri saya ya?”
“Mungkin karena mas Jarpul begitu rindu pada istri. Sehingga seolah-olah sudah dekat dengan Yati begitu berada di Jakarta.”
“Ah, benar juga ya. Saya memang ingin bertemu dengannya, ingin meminta maaf.”
Tiba-tiba Ramon seperti memperoleh celah untuk menguasai Jarpul yang sedang memendam rindu mendalam pada istrinya. Ia kemudian mengusulkan untuk ikut mencari Marniyati, istri Jarpul.
Pria bodyguard itu tampak setuju. Ia menyerahkan handphonenya karena Ramon membutuhkan untuk menelepon Arni sekaligus menanyakan posisi Marniyati.
Setelah memijat sebuah sejumlah nomor, Ramon berpura-pura berbicara dengan Arni. Kemudian dia menutupnya sambil berbisik pada Jarpul bahwa Arni mengenal Marniyati dan akan mengontaknya.
Lima menit kemudian Ramon mengontak Arni lagi dan pura-pura tengah berbicara dengan Marniyati. Sebentar kemudian ia berbisik pada Jarpul bahwa istrinya mau berbicara dengannya asal dia dalam kondisi butuh pertolongan, bukan sebagai jagoan.
Ramon mengusulkan agar Jarpul berpura-pura sedang diborgol dan dialah penodongnya. Namanya berpura-pura, Ramon mempersilahkan pistol milik Jarpul dikosongkan amunisinya.
Jarpul setuju dan percaya 100 persen dengan sandiwara yang dimainkan Ramon. Seolah kondisi seperti itulah yang diinginkan istrinya.
Saat itu ia memang akan rela melakukan apapun asal Yati memaafkannya. Maka ia pun menyodorkan salah satu tangannya untuk diborgol ke besi ranjang kamar tidur.
Setelah posisi yang diinginkan lengkap, Ramon kembali menelepon Yati khayalan sambil menenteng pistol tanpa pelor. Jarpul pasrah dengan kondisi sebagai tawanan.
Setelah basa-basi menelepon Yati, Ramon minta izin untuk berbicara di luar kamar karena sinyalnya buruk. Jarpul tentu saja tak mungkin menghalanginya.
Setelah berada di luar ruangan, Ramon tersenyum dan langsung kabur. “Hahaha…Boduguard kok melankolis.”
Di dalam kamar, Jarpul gelisah menunggu. Semenit, lima menit, 15 menit ia masih bersabar. Tapi setelah setengah jam Ramon tak muncul juga, Jarpul mulai merasa kena tipu.
“Bangsaaatttt!!!” Teriakan itu keluar setelah ia yakin benar-benar tertipu. (bersambung)
PSK Galau di Bulan Penuh Rahmat (9)
kisah-kisah lain di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H