Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

PSK Galau di Bulan Penuh Rahmat (2)

24 Juli 2012   23:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:40 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ringkasan sebelumnya: Arni, seorang PSK gundah. Terbayang job dan penghasilan selama bulan Ramadhan menyusut habis. Tapi tiba-tiba, Ramon Rahardjo muncul dan mengajaknya menikah. Arni galau untuk menerimanya. Ini karena Ramon yang ia kenal lima tahun lalu berperilaku seperti waria alias bencong. (selengkapnya)

Seorang wanita seharian berada di mal, apa yang ia lakukan? Umumnya bersenang-senang. Makan yang enak-enak, belanja barang yang diinginkan, atau pergi ke salon guna merawat diri.

Tapi itu tak dilakukan Arni. Meski sebenarnya ia bisa melakukannya karena punya cukup banyak uang. Uang pemberian Ramon, kawan terbaiknya saat ini.

Ramon pula yang menyuruhnya dia jalan-jalan ke mal dengan harapan Arni tak bosan melihat dirinya seharian. Sudah dua hari mereka selalu bersama di dalam kamar kos.

Keduanya ngobrol tentang masa depan. Sekali-kali mengingat kisah-kisah mereka masa lalu. Lalu tertawa bersama. Mereka yakin kini berada di tempat yang aman.

Arni sebenarnya tak bosan dengan kondisi itu. Tapi Ramon khawatir sendiri. Lagi pula ia sedang punya uang banyak. Menyenangkan Arni yang telah dilamar menjadi istrinya, mungkin sebagai wujud perhatian seorang calon suami.

Rencananya, setelah dari kamar sempit itu, Ramon akan terbang ke Manado untuk menghilangkan jejak. Ia sudah menawarkan diri untuk mengajak Arni. Tapi wanita itu menyatakan belum siap. Ia juga belum menjawab apakah mau atau tidak menikah dengan Ramon.

Arni meminta waktu untuk membicarakan soal itu dengan Icha. Ya cukup dengan Icha yang lebih banyak tahu siapa Ramon, bukan kedua orangtuanya.

Masalahnya, Icha belum bisa ke Jakarta karena masih ada urusan di kampung halamannya. Icha baru bisa menemui Arni keesokan harinya. Padahal Arni sudah tak sabar untuk menceritakan hasil pertemuan dengan Ramon.

Maka, Arni pun menikmati kesendiriannya di mal tanpa bernafsu bersenang-senang. Ia hanya melihat-lihat model pakaian, tas, sepatu hingga parfum yang dipajang di mal tanpa berniat membelinya.

Beruntung saat itu bulan puasa sehingga pramuniaga yang berjaga melayaninya dengan tetap ramah. Padahal Arni mungkin sempat merepotkannya karena seolah hendak membeli padahal tidak. Ngomel terhadap pengunjung sama saja membatalkan puasanya.

Aneh, saat itu, Arni juga tak merasa sebagai seorang penjaja seks komersial (PSK). Ia merasa sebagai wanita normal, wanita single yangsedang ngabuburit di mal.

Saat tak sengaja menatap dirinya di kaca mal yang bisa dijadikannya cermin, Arni kaget sendiri. Ternyata ia berpakaian sangat sopan. Semua auratnya tertutup. Kerudung warna unggu pun menghias di kepalanya.

Ramonlah yang meminta ia berpenampilan seperti itu. Dan lucunya Arni menurutinya tanpa sempat mengajukan argumentasi.

***

Esok harinya, Arni kembali ke mal untuk bertemu Icha yang baru tiba di Jakarta. Wanita itu terkejut melihat penampilan Arni.

“Astaga, seperti inikah pengaruh Ramon kepadamu, Ni”

Arni hanya tersenyum. Ia membiarkan pengaruh Ramon menyinari Icha. Ia ingin kekuatan Ramon di bulan Ramadan ikut menyadarkan kawannya, bahwa materi bukanlah yang utama dalam kehidupan ini.

“Jadi seberapa besar perubahan pada Ramon sekarang ini? Apakah beliau masih melambai-lambai seperti dulu? Apakah beliau sudah tak lagi menyukai sesama jenis? “

Arni pun bersemangat menjelaskannya. Bahwa benar Ramon kini beda banget dengan yang dulu mereka kenal. Bahwa Ramon telah berubah menjadi lebih alim, lebih muslim. Bahwa perilaku kebancian Ramon juga sudah jauh berkurang meski mungkin belum sepenuhnya hilang.

Lalu apakah ia kini sudah menjadi pria tulen, Arni tak mau berspekulasi. Selama tiga malam bersamanya, ia sama sekali tak disentuh. Tapi itu karena Ramon menghormati bulan puasa. Taku dosa.

“Yang pasti dia mengajakku menikah. Mengajakku menjalani hidup yang lurus jauh dari Jakarta. Mengajakku membangun keluarga dan memiliki anak-anak sebagaimana yang lainnya. Bagaimana menurutmu Cha? Aku terima atau tidak ajakannya?”

Karena Icha tak juga memberikan, Arni segera mengeluarkan sejumlah uang yang ada dalam tasnya. Tak lupa ia juga menyertakan dua buah kartu ATM milik Ramon yang dititipkan kepadanya.

“Ambilah ini uang untukmu,” kata Arni menyodorkan sebagian uang miliknya kepada Icha. Wanita itu tampak senang menerimanya. Seperti juga Arni, ia butuh uang untuk Lebaran dan tentu saja hidup sehari-hari.

“Ramon ngasih tahu nggak berapa nomor PIN ATM ini?.” Icha bertanya saat mengamati dua kartu ATM dengan nama Ramon Rahardjo.

Arni geleng kepala. “Aku nggak beranilah menanyakannya. Ntar dikira cewek apaan.”

Cewek apaan? Emang PSK cewek apaan? Cewek matre bukan. Tapi di depan Ramon, Arni tak mau menunjukkan sebagai wanita murahan. “Lagipula ia selalu memberiku uang cukup, melebihi setiap pria hidung belang yang pernah diservisnya. Ramon membawa uang kontan cukup banyak agar ia tak bolak-balik ke ATM selama persembunyiannya?”

“Hah, persembunyian apa? Emang Ramon terlibat masalah apa?”

Arni terkejut sendiri mendapat reaksi seperti itu. Ia baru sadar, bahwa cerita itu tak harus diumbar kepada orang lain. Namun karena sudah terlanjur, Arni pun menceritakan apa yang dia tahu tentang Ramon kepada Icha.

Lagi pula Arni berpikir bahwa Icha bukan orang lain. Icha kenal siapa Ramon, demikian sebaliknya.

“Tapi kamu jangan cerita siapa-siapa ya. Ini hanya untuk kamu,” tegas Arni. Icha mengangguk. Kalimat seperti itu sebenarnya juga disampaikan Ramon kepadanya. Ketika itu Ramon tak membutuhkan anggukan Arni. Mungkin karena saking percayanya.

“Lalu bagaimana ia sekarang bisa mempercayai kamu. Dan yakin bahwa kamu adalah jodohnya?” Icha melontarkan pertanyaan serius lagi.

“Aku juga bertanya seperti itu kepadanya. Lalu dia menjawab bahwa sudah menyukai sejak dulu. Sejak pertama melihatku. Tapi ketika itu ia tak berani mengutarakan isi hatinya karena belum cukup punya uang. Nah, sehari sebelum Ramadhan, ia bermimpi bertemu denganku dalam sebuah pelaminan. Maka ia pun semakin yakin bahwa Tuhan menciptakan aku untuknya. Ramon sangat serius saat memintaku menjadi istrinya.”

“Tapi kamu yakin sekarang dia sudah berubah, bukan banci lagi. Apakah dia tak lagi berkata dengan gaya bancinya, echie, yeiy, rempong…genit banget gitu.” Icha bertanya lagi dan Arni segera menggelengkap kepala.

Yeah, Arni ingat pada penampilan Ramon lima tahun lalu yang menyebut dirinya sebagai echie, kamu dengan yeiy, repot dengan rempong, cien untuk cinta. “Ini kan badan echie, jadi suka-suka echie dong cien. Apa urusannya sama yeiy.”

Penampilan itu tak lagi ia lihat pada Ramon selama bersamanya. Apakah mungkin ia memang benar-benar sudah berubah atau sandiwara saja karena ingin melamarnya? Sungguh Arni tak lagi peduli.

Arni juga tak mau berspekulasi berapa jumlah uang yang ada di tabungan Ramon. Apakah ia benar-benar sudah kaya raya atau bohong belaka, Arni juga tak mau memikirkannya. Yang dibenaknya kini, hanya satu. Ia ingin berubah. Ingin hidup normal dan meninggalkan pekerjaan sebagai PSK.

“Menurut aku sih sekarang terserah kamu. Kita kan tak mungkin melayani pria hidung belang selamanya. Orang seperti kita ini ada masa pensiunnya. Ramon mengajakmu pensiun dini. Ya itu terserah kamu.”

Kali ini ada nada iri dan ketakutan dalam hati Icha karena akan ditinggal Arni, mengarungi dunia hitam sendirian.

***

Demi menyempurnakan pertemuan, Arni minta izin Ramon untuk mengajak Icha ke rumah. Ramon tak punya alasan untuk melarangnya. Ia hanya meminta Arni belanja kebutuhan untuk sahur, juga memesan paket pizza untuk berbuka bersama.

Tentu saja semua uang untuk keperluan itu akan diganti Ramon.

Icha ikut bergembira saat membantu Arni membeli bahan makanan di supermarket yang ada di mal itu. Kegiatan berbelanja seperti itu adalah bagian dari rekreasi kaum wanita perkotaan, termasuk Arni dan Icha tentunya.

Dengan menggunakan taksi, keduanya kemudian pulang ke tempat kos. Biasanya Arni hanya belanja paling banyak dua kantung plastik besar karena repot jika harus membawanya ke tempat kos yang lokasinya masuk sebuah gang.

Namun karena kali ini dibantu Icha, belanjaannya hingga tiga kantung plastik plus satu paket pizza ukuran besar pesanan Ramon.

Di luar dugaan, perjalanan menuju rumah kos tersendat. Ada sebuah truk terguling dengan posisi melintang sehingga menghambat perjalanan.

Namun Arni baru memutuskan untuk berpindah naik ojek begitu waktu adzan magrib tinggal 15 menitan. Arni sudah berusaha menelepon Ramon bahwa perjalannya terjebak macet, namun tak diangkat. Lalu mengirimkan SMS untuk mengabari informasi serupa, juga tak dijawab.

Maka begitu bertemu pangkalan tukang ojek, mereka pun langsung turun. Sopir taksi tampak senang karena menerima uang kelebihan cukup banyak dari ongkos yang seharusnya dibayar dua penumpangnya. Ia sempat mengucapkan allhamdulillah dan menganggapnya sedang menerima berkah Ramadhan.

Wus, pengojek yang ditumpangi Arni dan Icha melesat menembus kemacetan. Cuma 10 menit sampai tujuan. Mereka bergegas menuju kamar kos. Arni membayangkan Ramon sedang gelisah menunggunya. Namun kemudian bergembira begitu ia dan Icha muncul. Mereka akan melakukan reuni.

Namun bayangannya langsung bubar begitu melihat pintu kamar tak terkunci. Sedang kondisi kamar berantakan seolah habis terjadi huru-hara. Arni langsung berpikir untuk bertanya pada ibu kos. Hanya saja begitu ia hendak keluar kamar, ibu kos sudah berdiri di depan pintu dan memaluknya sambil menangis.

“Tadi ada dua pria membawa Ramon pergi dengan paksa. Ibu tak bisa menghalanginya, tak tahu ia dibawa kemana?”

Denyut jantung Arni serasa berhenti. Di kepalanya langsung terbayang bahwa satu dari dua pria itu adalah Jaka, orang yang selama ini mencari Ramon. Jika itu benar, ia membayangkan hidup Ramon akan semakin menderita.

Arni mencoba tenang dan mengontak nomor telepon Ramon hingga berulang-ulang. Tapi tak memperoleh jawaban. Ia pun menjadi lemas, duduk di sudut ranjang sambil menangis. Icha dan ibu kos ikut berlinang air mata tanpa tahu harus berbuat apa.

Tangis Arni perlahan-lahan terdengar kian kencang. Pikirannya kacau balau. Tak pernah selama hidupnya ia begitu mengkhawatirkan keselamatan seseorang seperti terhadap Ramon saat ini. (bersambung)

Kisah Selanjutnya...

Kisah-kisah lain ada di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun