Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

PSK Galau di Bulan Penuh Rahmat (19)

14 Agustus 2012   21:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:46 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ringkasan sebelumnya: Jaka terkecoh. Kapal pesiar beranjak dari Kepulauan Seribu ke Marina May, Singapura, tanpa ia mengetahui apakah Ramon dan Arni ada di kapal itu atau tidak. Selengkapnya…

Jaka yakin Ramon dan Arni sudah berada di dalam kapal pesiar yang mereka tumpangi. Tapi lewat pintu mana, ia benar-benar tidak paham. Nalurinya berkata ada orang kuat di atas kapal yang tengah melindungi buruannya.

“Pasti ada orang penting yang melindungi si Ramon itu. Tapi apa kepentingannya? Apa pula hubungannya?” gumam Jaka. Gofar yang mendengar gumaman itu mengangguk-angguk.

Gofar ikut berpikir keras tentang misteri yang dipikirkan bosnya. Namun ia tak menemukan jawaban masuk akal. Betapa tidak, kapal pesiar itu hanya ditumpangi orang-orang khusus dengan tujuan tertentu. Ramon dan Arni jauh dari kategori itu.

Gofar jadi membandingkan dengan diri sendiri yang juga tak termasuk dalam kategori khusus tersebut. Ia baru pertama masuk kapal pesiar mewah. Jaka mengajaknya karena ia membutuhkan perlindungan dan orang kepercayaan yang bisa disuruh-suruh . Sekarang apa yang bisa ia lakukan untuk Jaka?

“Sekarang kita cari tahu dimana Ramon dan Arni bersembunyi. Kamu ajak ngobrol semua pegawai kapal. Bila perlu pakai ini?” Ramon menugasi Gofar seraya mengerakan ibu jari dan jari lainnya, isyarat menggunakan uang untuk menyuap.

“Siap bos, tapi…”

“Tapi apa?”

“Aku kan nggak iso bahasa Inggris, bos,” jawab Gofar tersipu.

“Yang sudah, kamu cari yang mukanya orang Jawa. Yang lain urusanku.”

“Siap bos.” Gofar hanya bisa bilang itu.

Ia tak mungkin mengatakan tidak berani, apalagi tidak mau meski sebenarnya ia minder berada di kapal itu. Ia melihat dan mendengar sendiri, semua pegawai kapal bercakap menggunakan bahasa Inggris atau bahasa asing yang tak ia mengerti.

“Duh Gusti, lebih baik disuruh membunuh 100 orang daripada harus berbicara pakai bahasa Inggris.”

Ramon dan Jaka menyebar. Mereka mulai kasak-kusuk. Jaka cukup lancar ngobrol dengan banyak orang di kapal itu. Sebaliknya Gofar tampak tersiksa. Ia terpaksa menggunakan bahasa isyarat, bahasa tarzan, dan ia malu sekali karena merasa sedang ditertawakan setiap memperagakan maksudnya.

Ingin rasanya Gofar mengakhiri tugas maha berat itu.

***

Ramon dan Arni kini benar-benar berada di lokasi aman. Jarot menempatkan keduanya di sebuah ruangan yang tak mungkin terjangkau para penumpang di kapal pesiar itu.

Sebaliknya ia bisa mengawasi Jaka dan Gofar baik melalui layar CCTV yang dipasang di tempat-tempat tertentu, atau melalui anak buahnya yang tersebar di segala penjuru kapal.

“Pak,salah satu penumpang yang kita awasi mengamuk. Dia sempat memukul salah satu teman kita.” Jarot menerima laporan anak buahnya alat komunikasi khusus antar awak kapal.

“Memang apa sebabnya?,” tanya Jarot.

“Kurang tahu persis, Pak. Dia selalu mengajak ngobrol pakai bahasa isyarat. Kayak orang bisu, padahal tidak.”

“Kok bisa?”

“Kurang tahu persis, Pak. Justru saat kami tanya maksudnya dia malah marah dan memukul teman kita.”

“Lalu apa reaksi teman kita.”

“Tidak membalas, Pak. Teman kita mengira sedang menghadapi orang stres. Orang stres kok bisa masuk ke kapal ini ya pak? Maaf kalau saya sok ingin tahu….”

“Nggak masalah. Ya sudah, terus awasi gerak-geriknya. Jika bikin onar lagi lumpuhkan saja.”

Jarot memperkirakan orang yang dikira stres itu adalah Gofar. Saat pertama kali melihatnya, pria berbadan besar dan berwajah sangar tak menunjukkan kelainan. Hanya saja, Jarot mengakui bahwa pria itu terlihat nervous. Ia seperti seorang yang tersesat di sebuah tempat yang tak pernah ia kunjungi.

Jarot menduga pendidikan Gofar tak setinggi Jaka. Masalahnya tak ada larangan orang berpendidikan rendah masuk kapal pesiar itu asal semua syarat terpenuhi.

Tak lama kemudian, anak buah Jarot lainnya menyampaikan lagi via alat komunikasi khusus.

“Ya, ada perkembangan apa?”

“Siap Pak. Ini, orang yang kita awasi mau menyogok saya asal mau ngasih tahu persembuyian adik Bapak?”

“Terus kamu mau?”

“Ya tidak Pak?”

“Bagus!”

“Emang dia mau ngasih uang kamu berapa?”

“Rp 200 juta, Pak”

“Kamu nggak tertarik? Kan lumayan tuh..”

“Sumpah tidak tertarik, Pak. Saya tak mau ambil risiko.”

“Hahaha…bagus”

“Siap, Pak”

“Sekarang kamu datangi lagi orang itu. Kamu bilang minta Rp 500 juta untuk informasi yang ia butuhkan.”

“Tapi, Pak”

“Biar meyakinkan, jika ia mau, uangnya jangan kamu terima dulu. Tegaskan uang akan kamu terima setelah informasi yang kamu sampaikan terbukti.”

“Tapi, Pak”

“Ini perintah”

“Siaapp, Paakk!” (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun