Ringkasan sebelumnya: Ramon dan Jamila punya perasaan senasib. Yakni menjadi korban perilaku tak wajar Jaka. Kala Ramon di bawah ancaman pembunuhan oleh Jaka yang notabene suaminya, Jamila justru membantu Ramon. Selengkapnya…
Ramon mempersilahkan sopir mobil carteran yang disewanya memilih perjalanan ke Jakarta melalui jalur utara atau selatan. Ia sendiri tak hafal, lebih nyaman mana melakukan perjalanan darat di kedua jalur itu.
Selama ini ia lebih banyak menggunakan angkutan umum, terutama kereta api ekskutif dan pesawat terbang, jika harus melakukan perjalanan Surabaya-Jakarta.
Ramon kini hanya ingin menikmati pelarian bersama pujaan hatinya, Arni. Wanita yang tampak begitu cantik itu tertidur lelap dipangkuannya. Sementara tangan mereka masih berpegangan erat sejak berada di mobil.
Sopir bernama Bruno, beberapa kali melirik ke belakang melalui kaca. Ia mungkin tengah menebak-nebak apakah pasangan yang tengah dibawanya itu pasangan suami-istri atau bukan.
Jika melihat usianya, yang tak muda lagi, pasangan Ramon dan Arni pastilah pasangan suami-istri. Tapi jika dilihat dari kemesraan yang ditunjukkan, keduanya seperti orang sedang berpacaran.
Bruno membandingkan dengan dirinya sendiri yang tak lagi mesra dengan istri begitu mereka dikarunai seorang anak.
Sebaliknya, Ramon dan Arni sempat tertawa geli mendengar sopir itu mengaku bernama Bruno. Nama tersebut dianggap terlalu keren untuk seorang sopir yang nada bicaranya medok banget.
“Mungkin nama aslinya Baruno kali ya?,” bisik Ramon. Arni mengangguk dan tertawa mendengarnya.
Arni sempat bertanya, sebenarnya mereka mau kemana? Ramon lalu menyebut hendak ke daerah aman, yakni Papua, dimana ia sudah mengontak paman Narkim yang jadi perwira polisi di sana.
Ramon balik bertanya, tepatnya menagih janji, apakah Arni bersedia menjadi istrinya? Bersedia bersusah payah mencari tempat persembunyian dengannya? Arni mengangguk pelan namun mempererat genggamannya pada tangan Ramon. Jawaban itu sudah lebih dari cukup.
Andai saja mobil itu dilengkapi tape recorder, Ramon akan minta Bruno menyetel lagu-lagu cinta. Sayangnya mobil itu tanpa musik dan AC.
Tapi tetap saja Ramon merasakan suasana paling indah dalam hidupnya karena cintanya tak bertepuk sebelah tangan, karena lamarannya diterima dengan tulus oleh Arni.
Ia lalu membiarkan Arni menyandarkan kepala di pundaknya. Bahkan saat kekasih hatinya itu tertidur lelap karena kelelahan, ia segera memindahkan kepala Arni ke pangkuannya.
Lama sekali Ramon memandangi wajah Arni. Ah, betapa ia melihat wajah itu bukan hanya cantik, tapi juga menawan. Ada kepasrahan di balik rona wajah Arni. Ada juga sepintas kemiripan dengan wajah almarhumah ibunya.
Ramon lalu mengingat masa-masa berkenalan dengan Arni. Sejak awal ia sudah tertarik dengan aura penampilannya. Iapun tak pernah menganggap Arni sebagai pelacur.
Ia merasa, ketika itu, Arni sedang terpaksa menjalani sandiwara sebagai seorang PSK. Sama seperti dirinya yang sedang menjalani peran apa saja agar hidupnya sukses dan kaya raya.
Sayangnya Ramon tak pernah berani menyatakan perasaannya. Arni pernah bilang, hanya pria sungguhan dan berpenghasilan cukuplah yang bisa menghentikan dia dari kesehariannya sebagai seorang PSK.
Ketika itu Ramon merasa modalnya hanya kesungguhan dan itu pasti tak akan cukup untuk membahagiakan Arni.
Lalu setelah punya uang cukup banyak,maka nama Arni kembali diingatnya. Allah kemudian mempertemukan mereka kembali. Ramon tersenyum bahagia mengenangnya. Setelah ia tak ingat lagi karena ikut tertidur lelap.
Ramon kembali terjaga setelah Bruno membangunkannya dengan sopan. Saat itu mobil Bruno sedang berada di SPBU karena tangki bensinnya sudah kosong.
Meski dengan mata masih berat, Ramon terbangun. Arni juga ikut menggeliat. Ia kaget karena hari sudah gelap. Ia menanyakan apakah sudah adzan Maghrib atau belum. Bruno menjawab baru sajaadzan Maghrib berkumandang.
“Wah waktunya buka puasa. Kita batalin dulu puasanya.” Ramon berbisik pada Arni yang masih setengah sadar.
Ramon kemudian keluar dari mobil dan kembali dengan membawa minuman kemasan plus lontong dan gorengan yang banyak dijual di sekitar SPBU tersebut. Makanan itu diberikan kepada Ramon dan Arni.
Setelah itu Ramon mengajak ketiganya shalat Maghrib. Karena tak membawa mukena, Ramon mencari tahu kemungkinan ada mukena pinjaman di mushola sekitar SPBU, ternyata ada. Mereka kemudian shalat berjamaah.
Setelah dari SPBU, Ramon mengajak mampir ke sebuah restoran terdekat untuk makan malam. Ketika melewati toko pakaian, mereka juga berhenti dan membeli sejumlah baju sebagai ganti selama dalam perjalanan.
Bruno tampak senang menerimanya. Saat waktu shalat Isa tiba mereka mampir ke sebuah masjid. Ganti baju, shalat, dan kembali melakukan perjalanan yang masih panjang.
***
Ramon terbangun lagi tatkala menerima telepon dari Jamila yang mengabarkan bahwa orang-orang Jaka tengah mengikutinya. Kabar itu membuat ia tak bisa tidur lagi.
Ramon ingin segera tiba di Jayapura, ibukota Papua. Di sana ia dan Arni akan hidup bahagia. Ia yakin dengan jaminan keamanan dari pamannya.
Jamila mengirimnya SMS bahwa polisi Sidoarjo kini sedang mengusut aksi pengerusakan di rumah Ustadz Mahfudz. Sang ustadz juga sudah memberi keterangan tentang siapa pelaku pengerusakan itu kepada pihak kepolisian.
Ramon senang mendengarnya, namun ia ragu dengan hasilnya. Sepanjang pergaulannya dengan Jaka ia tahu betul siapa saja perwira yang kenal Jaka. Pria itu pandai sekali menjalin hubungan terutama dengan polisi-polisi yang diyakini akan bersinar kariernya.
Justru karena mengingat itu Ramon khawatir persembunyiannya di Papua, lambat laun akan ketahuan juga. Bagaimanapun, di lingkungan kepolisian, kepangkatan sangat menentukan. Jalur komando menjadi patokan utama.
Artinya, jika pamannya hanya berpangkat komisaris alias mayor, maka ia akan tunduk dengan polisi yang berpangkat di atasnya. Dan Jaka bisa menggunakan kawan-kawannya di kepolisian untuk mencari keberadaan di Papua.
“Ya Allah, hanya Engkaulah tempat kami berlindung. Jika itu kehendakMu kami akan tunduk,” doa Ramon dalam hati.
***
Arni terbangun. Ia bertanya saat itu sampai dimana. Ramon menyebut daerah Subang. Dari tadi ia memang mengintip dari kaca, daerah-daerah mana saja yang sedang dilaluinya. Mereka sedang melewati jalur pantai utara.
“Kamu capek banget ya sayang.”
Arni mengangguk. Ia lalu berbisik bahwa ia barusan bermimpi.
“Mimpi? Mimpi apa sayang?”
“Aku mimpi tentang anaku, Raihan.”
“Wah kamu kangen ya?”
“Banget!,” kata Arni sambil menganggukan kepalanya.
“Aku kok jadi kangen juga sama Raihan ya?.” Ramon mencoba serius, meski tetap terdengar basa-basi.
“Justru di mimpi itu aku dan kamu, kita yang bertemu Raihan.”
“Oh ya. Terus gimana?”
“Terus Raihan memanggilku mama-mama. Dan bertanya siapa disampingku?”
“Terus kamu jawab apa?”
“Aku belum menjawab, ketika Raihan membisikkan sesuatu di telingku”
“Raihan bilang apa?” Ramon makin penasaran.
“ Dia bilang itu papa ya. Itu papa Raihan ya”
Hahaha…
Ramon tertawa tak henti-hentinya. Ia begitu bahagia mendengar cerita itu. Sejenak keduanya lupa dengan kondisinya yang masih terancam. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H